ETIOLOGIMikobakterium
leprae merupakan basil tahan asam (BTA) bersifat obligat intraseluler,
menyerang saraf perifer, kulit dan organ lain seperti mukosa saluran nafas
bagian atas, hati, sumsum tulang kecuali susunan saraf pusat. Masa membelah
diri mikobakterium leprae 12-21 hari dan masa tunasnya antara 40 hari-40 tahun.
Kuman kusta berbentuk batang dengan ukuran panjang 1-8 micro, lebar 0,2-0,5
micro biasanya berkelompok dan ada yang disebar satu-satu, hidup dalam sel dan BTA
EPIDEMIOLOGIDistribusi
Menurut Geografi dapat dilihat bahwa
sebagian besar kasus lepra terjadi pada wilayah dengan iklim tropis.
Berdasarkan data yang diperoleh dari WHO pada akhir tahun 2006 didapatkan
jumlah pasien kusta yang teregistrasi sebanyak 224.727 penderita. Dari data
tersebut didapatkan jumlah pasien terbanyak dari benua Asia dengan jumlah
pasien yang terdaftar sebanyak 116.663 dan dari data didapatkan India merupakan
negara dengan jumlah penduduk terkena kusta terbanyak dengan jumlah 82.901
penderita. Namun Micronesia F. S merupakan negara dengan jumlah rata-rata
prevalensi per 10.000 penduduk terbanyak di dunia, yaitu dengan 9,64 per 10.000
jumlah penduduk. Sementara Indonesia pada 2006 tercatat memiliki jumlah
penderita sebanyak 22.175 (WHO).
Distribusi
Menurut Faktor Manusia a. Etnik atau Suku Kejadian penyakit kusta menunjukkan
adanya perbedaan distribusi dapat dilihat karena faktor geografi. Di Indonesia
etnik Madura dan Bugis lebih banyak menderita kusta dibandingkan etnik Jawa
atau Melayu (Depkes RI, 8:2006).
FAKTOR RESIKOSekitar 50% penderita
kemungkinan tertular karena berhubungan dekat dengan seseorang yang
terinfeksi.Infeksi juga mungkin ditularkan melalui tanah, armadillo, kutu busuk
dan nyamuk. Sekitar 95% orang yang terpapar oleh bakteri lepra tidak menderita
lepra karena sistem. Kekebalannya berhasil melawan infeksi. Infeksi dapat
terjadi pada semua umur, paling sering mulai dari usia 20an dan 30an. bentuk
lepromatosa 2 kali lebih sering ditemukan pada pria
PATOGENESISSaat
M.leprae masuk ke dalam tubuh manusia
maka kuman ini akan bereaksi dengan sistem imun sehingga terjadi proses
fagositosis dari makrofag dll, setelah sistem imun di kalahkan maka M.leprae akan masuk ke dalam monosit dan
berkembang biak di dalam monosit sehingga tidak terdeteksi oleh sistem imun.
Setelah monosit pecah dan mati maka M.leprae
akan keluar dan masuk ke dalam sel schwan pada perineural dari saraf perifer
yang merupakan tempat predileksi hidup M.leprae
sehingga terjadi non profesional fagositosis, dimana tidak dapat
mengekspresikan mol MHC kls II. Sel schwan yang telah terinfeksi karena tidak
punya ml MHC kls II maka tidak bisa berkomunikasi dengan sel T sehingga tidak
terdeteksi oleh sistem imun. Setelah sel schwan mati maka M.lepra akan keluar
dan di tangkap oleh makrofag yang profesional. M.leprae yang berada dalam makrofag akan di bawah ke seluruh organ
dengan bantuan CD4, IL, dan T cell karena sudah tidak mengenal M.leprae.
Masuknya
M.Leprae ke dalam tubuh akan ditangkap oleh APC (Antigen Presenting Cell) dan
melalui dua signal yaitu signal pertama dan signal kedua. Signal pertama adalah
tergantung pada TCR- terkait antigen (TCR = T cell receptor) yang
dipresentasikan oleh molekul MHC pada permukaan APC sedangkan signal kedua
adalah produksi sitokin dan ekspresinya pada permukaan dari molekul
kostimulator APC yang berinteraksi dengan ligan sel T melalui CD28. Adanya
kedua signal ini akan mengaktivasi To sehingga To akan berdifferensiasi menjadi
Th1 dan Th2. Adanya TNF α dan IL 12 akan membantu differensiasi To menjadi Th1
(Wahyuni, 6:2009).
Th 1
akan menghasilkan IL 2 dan IFN γ yang akan meningkatkan fagositosis makrofag(
fenolat glikolipid I yang merupakan lemak dari M.leprae akan berikatan dengan
C3 melalui reseptor CR1,CR3,CR4 pada permukaannya lalu akan difagositosis) dan
proliferasi sel B. Selain itu, IL 2 juga akan mengaktifkan CTL lalu CD8+.Di
dalam fagosit, fenolat glikolipid I akan melindungi bakteri dari penghancuran oksidatif
oleh anion superoksida dan radikal hidroksil yang dapat menghancurkan secara
kimiawi. Karena gagal membunuh antigen maka sitokin dan growth factors akan
terus dihasilkan dan akan merusak jaringan akibatnya makrofag akan terus
diaktifkan dan lama kelamaan sitoplasma dan organella dari makrofag akan
membesar, sekarang makrofag seudah disebut dengan sel epiteloid dan penyatuan
sel epitelioid ini akan membentuk granuloma (Wahyuni, 6-7:2009).
Th2
akan menghasilkan IL 4, IL 10, IL 5, IL 13. IL 5 akan mengaktifasi dari
eosinofil. IL 4 dan IL 10 akan mengaktifasi dari makrofag. IL 4 akan
mengaktifasi sel B untuk menghasilkan IgG4 dan IgE. IL 4 , IL10, dan IL 13 akan
mengaktifasi sel mast (Wahyuni, 7:2009). Signal I tanpa adanya signal II akan
menginduksi adanya sel T anergi dan tidak teraktivasinya APC secara lengkap
akan menyebabkan respon ke arah Th2. Pada Tuberkoloid Leprosy, kita akan
melihat bahwa Th 1 akan lebih tinggi dibandingkan denganTh2 sedangkan pada
Lepromatous leprosy, Th2 akan lebih tinggi dibandingkan dengan Th1(Wahyuni,
7:2009). APC pada kulit adalah sel dendritik dimana sel ini berasal dari sum –
sum tulang dan melalui darah didistribusikan ke jaringan non limfoid. Sel
dendritik merupakan APC yang paling efektif karena letaknya yang strategis
yaitu di tempat – tempat mikroba dan antigen asing masuk tubuh serta organ –
organ yang mungkin dikolonisasi mikroba. Sel denritik dalam hal untuk bekerja
harus terlebih dulu diaktifkan dari IDC menjadi DC. Idc akan diaktifkan oleh
adanya peptida dari MHC pada permukaan sel, selain itu dengan adanya molekul
kostimulator CD86/B72, CD80/B7.1, CD38 dan CD40. Setelah DC matang, DC akan
pindah dari jaringan yang inflamasi ke sirkulasi limfatik karena adanya
ekspresi dari CCR7 ( reseptor kemokin satu – satunya yang diekspresikan oleh DC
matang). M. Leprae mengaktivasi DC melalui TLR 2 – TLR 1 heterodimer dan
diasumsikan melalui triacylated lipoprotein seperti 19 kda lipoprotein. TLR 2
polimorfisme dikaitkan dengan meningkatnya kerentanan terhadap leprosy (Wahyuni,
8:2009).
Patogenesis
Kerusakan Saraf pada Pasien Kusta M.Leprae memiliki bagian G domain of
extracellular matriks protein laminin 2 yang akan berikatan dengansel schwaan
melalui reseptor dystroglikan lalu akan mengaktifkan MHC kelas II setelah itu mengaktifkan
CD4+. CD4+ akan mengaktifkan Th1 dan Th2 dimana Th1 dan Th2 akan mengaktifkan
makrofag. Makrofag gagal memakan M. Leprae akibat adanya fenolat glikolipid I
yang melindunginya di dalam makrofag. Ketidakmampuan makrofag akan merangsang
dia bekerja terus – menerus untuk menghasilkan sitokin dan GF yang lebih banyak
lagi. Sitokin dan GF tidak mengenelai bagian self atau nonself sehingga akan
merusak saraf dan saraf yang rusak akan diganti dengan jaringan fibrous
sehingga terjadilah penebalan saraf tepi. Sel schwann merupakan APC non
professional (Wahyuni, 8:2009).
Patogenesis
reaksi Kusta Reaksi kusta adalah suatu episode akut dalam perjalan kronis
penyakit kusta yang dianggap sebagai suatu kelaziman atau bagian dari
komplikasi penyakit kusta. Ada dua tipe reaksi dari kusta yaitu reaksi kusta
tipe I dan reaksi kusta tipe II. Reaksi kusta tipe I sering disebut reaksi
lepra non nodular merupakan reaksi hipersensitifitas tipe IV ( Delayed Type
Hipersensitivity Reaction ). Reaksi tipe I sering kita jumpai pada BT dan BL.
M. Leprae akan berinteraksi dengan limfosit T dan akan mengakibatkan perubahan
sistem imunitas selluler yang cepat. Hasil dari reaksi ini ada dua yaitu
upgrading reaction / reversal reaction , dimana terjadi pergeseran ke arah
tuberkoloid ( peningkatan sistem imunitas selluler) dan biasanya terjadi pada
respon terhadap terapi, dan downgrading, dimana terjadi pergeseran ke arah
lepromatous ( penurunan sistem imunitas selluler) dan biasanya terjadi pada
awal terapi (Wahyuni, 8:2009). Reaksi kusta tipe II adalah hipersensitivitas
humoraltepatnya hipersensitivitas tipe III. Reaksi tipe dua sering juga disebut
eritema nodosum lepromatous. Reaksi ini sering terjadi pada pasien LL. M.
Lepraeakan berinteraksi dengan antibodi membentuk kompleks imun dan mengendap
pada pembuluh darah. Komplemen akan berikatan pada komples imun dan merangsang
netrofil untuk menghasilkan enzim lisosom. Enzim lisosom akan melisis sel
(Wahyuni, 8:2009)
GEJALA KLINISKusta
bentuk kering (tipe tuberkuloid) Merupakan bentuk yang tidak menular Kelainan
kulit berupa bercak keputihan sebesar uang logam atau lebih, jumlahnya biasanya
hanya beberapa, sering di pipi, punggung, pantat, paha atau lengan. Bercak
tampak kering, perasaan kulit hilang sama sekali, kadang-kadang tepinya
meninggi Pada tipe ini lebih sering didapatkan kelainan urat saraf tepi pada,
sering gejala kulit tak begitu menonjol tetapi gangguan saraf lebih jelas
Komplikasi saraf serta kecacatan relatif lebih sering terjadi dan timbul lebih
awal dari pada bentuk basah Pemeriksaan bakteriologis sering kali negatif,
berarti tidak ditemukan adanya kuman penyebab Bentuk ini merupakan yang paling
banyak didapatkan di indonesia dan terjadi pada orang yang daya tahan tubuhnya
terhadap kuman kusta cukup tinggi.
Kusta
bentuk basah (tipe lepromatosa) Merupakan bentuk menular karena banyak kuman
dapat ditemukan baik di selaput lendir hidung, kulit maupun organ tubuh lain
Jumlahnya lebih sedikit dibandingkan kusta bentuk kering dan terjadi pada orang
yang daya tahan tubuhnya rendah dalam menghadapi kuman kusta Kelainan kulit
bisa berupa bercak kamarahan, bisa kecilkecil dan tersebar diseluruh badan
ataupun sebagai penebalan kulit yang luas (infiltrat) yang tampak mengkilap dan
berminyak. Bila juga sebagai benjolanbenjolan merah sebesar biji jagung yang
sebesar di badan, muka dan daun telinga Sering disertai rontoknya alis mata,
menebalnya cuping telinga dan kadang-kadang terjadi hidung pelana karena
rusaknya tulang rawan hidung Kecacatan pada bentuk ini umumnya terjadi pada fase
lanjut dari perjalanan penyakit Pada bentuk yang parah bisa terjadi ”muka
singa” (facies leonina)
Diantara
kedua bentuk klinis ini, didapatkan bentuk pertengahan atau perbatasan (tipe
borderline) yang gejala-gejalanya merupakan peralihan antara keduanya. Bentuk
ini dalam pengobatannya dimasukkan jenis kusta basah.
Klasifikasi
1. Tujuan :
Untuk
menentukan regimen pengobatan.
Untuk
perencanaan opersional.
2. Klasifikasi
Pengobatan MDT.
Untuk
keperluan pengobatan kombinasi atau Multidrug Therapy (MDT) yaitu menggunakan
gabungan Rifampicin, Lamprene dan DDS, maka penyakit kusta di Indonesia
diklasifikasikan menjadi 2 tipe yaitu :
a. Tipe
PB (Pausi basiler).
b. Tipe
MB (Multi basiler).
Sebelumnya telah dikenal beberapa klasifikasi
seperti :
a. Klasifikasi
Madrid.
b. Klasifikasi
Ridley Joping.
c. Klasifikasi
India, namun klasifikasi ini tidak dipergunakan dalam P2 Kusta di lapangan.
Kriteria penentuan tipe
Berdasarkan Ridley-Joping
Gambaran klinik, bakteriologik, dan imunologik kusta Pausibasiler (PB)
SIFAT
|
TUBERKULOID (TT)
|
BORDERLINE TUBERCULOID (BT)
|
INTERMEDIATE (I)
|
Lesi
|
|||
Bentuk
|
Makula saja
Makula dibatasi infiltrate
|
Makula dibatasi infiltrat
Infiltrat saja
|
Hanya macula
|
Jumlah
|
Satu, dapat beberapa
|
Beberapa atau satu dengan satelit
|
Satu atau beberapa
|
Distribusi
|
Asimetris
|
Masih asimetris
|
Variasi
|
Permukaan
|
Kering bersisik
|
Kering bersisik
|
Halus agak berkilat
|
Batas
|
Jelas
|
Jelas
|
Dapat jelas atau dapat tidak jelas
|
Anestesia
|
Jelas
|
Jelas
|
Tak ada sampai tidak jelas
|
BTA
|
|||
Lesi Kulit
|
Negatif
|
Negative atau hanya positif 1
|
Biasanya negative
|
Tes lepromin
|
Posiitif kuat (3+)
|
Positif lemah
|
Dapat positif lemah atau negative
|
Gambaran
klinik, bakteriologik, dan imunologik kusta Multibasiler (MB)
SIFAT
|
LEPROMATOSA
(LL)
|
BORDERLINE LEPROMATOUS (BL)
|
MID BORDERLINE (BB)
|
Lesi
|
|||
Bentuk
|
Makula, infiltrat difus
|
Makula, Plakat, Papul
|
Plak, lesi berbentuk
|
Jumlah
|
Tak terhitung
|
Sukar dihitung
|
Dapat dihitung
|
Distribusi
|
Simetris
|
Hampir simetris
|
Asimetris
|
Permukaan
|
Halus berkilat
|
Halus berkilat
|
Agak kasar dan berkilat
|
Batas
|
Tak jelas
|
Agak jelas
|
Agak jelas
|
Anestesia
|
Tidak jelas
|
Tidak jelas
|
Lebih jelas
|
BTA
|
|||
Lesi Kulit
|
Banyak (ada globus)
|
Banyak
|
Agak banyak
|
Sekret Hidung
|
Banyak (ada globus)
|
Biasanya negative
|
Negative
|
Tes lepromin
|
Negatif
|
Negatif
|
Biasanya negative
|
Klasifikasi
berdasarkan WHO (1995):
PB MB
|
||
1.
Lesi
kulit (makula datar, papul yang meninggi, nodus)
|
·
1-5
lesi
·
Hipopigementasi/eritema
·
Distribusi
tidak simetris
|
·
> 5
lesi
·
Eritema
·
Distribusi
lenih simetris
|
2. Kerusakan saraf (menyebabkan hilangnya sensasi/
kelemahan otot yang dipersarafi oleh saraf yag terkena)
|
·
Hanya
satu cabang saraf
|
Banyak cabang saraf
|
Pemeriksaan Klinis
Pelaksanaan pemeriksaan
terdiri dari :
a. Pemeriksaan
pandang (inspeksi),
b. Pemeriksaan
rasa raba pada kelainan kulit, dan
c. Pemeriksaan
syaraf tepi dan fungsinya.
a. Pemeriksaan
Pandang (Inspeksi).
Tahap pemeriksaan.
1. Pemeriksaan
dimulai dengan orang yang diperiksa behadapan dengan petugas dan dimulai kepala
(muka, cuping telinga kiri, pipi-kiri, cuping telinga kakan, pipi kanan,
hidung, mulut, dagu, leher bagian depan). Penderita diminta untuk memejamkan
mata, mengetahui fungsi syaraf dibuka. Semua kelainan kulit diperhatikan.
2. Pundak
kanan, lengan bagian belakang, tangan, jari-jari tangan (penderita diminta
meluruskan tangan kedepan dengan telapak tangan menghadap kebawah, kemudian
tangan diputar dengan telapak tangan menghadap keatas), telapak tangan, lengan
bagian dalam, ketiak, dada dan perut ke pundak kiri, lengan kiri dan seterusnya
(putarlah penderita pelan-pelan dari sisi yang satu ke sisi yang lainnya untuk
melihat sampingnya pada waktu memeriksa dada dan perut).
3. Tungkai
kanan bagian luar dari atas ke bawah, bagian dalam dari bawah ke atas, tungkai
kiri dengan cara yang dalam dari bawah ke atas, tungkai kiri dengan cara yang
sama.
4. Yang
diperiksa kini diputar sehingga membelakangi petugas dan pemeriksaan dimulai
lagi dari : Bagian belakang telinga, bagian belakang leher,punggung, pantat
tungkai bagian belakang dan telapak kaki. Perhatikan setiap bercak (makula),
bintil-bintil (nodulus) jaringan parut, kulit yang keriput, dan setiap
penebalan kulit. Bilamana meragukan, putarlah penderita pelanpelan dan periksa
pada jarak kira-kira ½ meter.
b. Pemeriksaan
Rasa Raba pada Kelainan Kulit.
Pemeriksaan terhadap
anestesi.
Sepotong
kapas yang dilancipkan dipakai untuk memeriksa rasa raba. Periksalah dengan
ujung dari kapas yang dilancipi secara tegak lurus pada kelainan kulit yang
dicurigai. Yang diperiksa sebaiknya duduk pada waktu pemeriksaan. Terlebih
dahulu petugas menerangkan bahwa bilamana merasa tersentuh bagian tubuhnya
dengan kapas, ia harus menunjukkan kulit yang disentuh dengan jari telunjuknya
atau dengan menghitung sentuhan untuk bagian yang sulit dijangkau, ini
dikerjakan dengan mata terbuka. Bilamana hal ini telah jelas, maka ia diminta
menutup matanya, kalau perlu matanya ditutup dengan sepotong kain/karton.
Kelainan-kelainan di kulit diperiksa secara
bergantian dengan kulit
yang normal disekitarnya untuk mengetahui ada tidaknya anaesthesi.
c. Pemerksaan
rasa raba syaraf tepi.
Raba dengan teliti urut
syaraf tepi berikut n.auricularis magnus, n.ularis, n.radialis,
n.medianus,n.peroneus, dan n.tibialis posterior.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Bakteriologis Ketentuan
pengambilan sediaan adalah sebagai berikut: Sediaan diambil dari kelainan kulit
yang paling aktif. Kulit muka sebaiknya dihindari karena alasan kosmetik
kecuali tidak ditemukan lesi ditempat lain. Pemeriksaan ulangan dilakukan pada
lesi kulit yang sama dan bila perlu ditambah dengan lesi kulit yang baru
timbul. Lokasi pengambilan sediaan apus untuk pemeriksaan mikobakterium leprae
ialah: Cuping telinga kiri atau kanan Dua sampai empat lesi kulit yang aktif
ditempat lain Sediaan dari selaput lendir hidung sebaiknya dihindari karena:
Tidak menyenangkan pasien Positif palsu karena ada mikobakterium lain Tidak
pernah ditemukan mikobakterium leprae pada selaput lendir hidung apabila sedian
apus kulit negatif. Pada pengobatan, pemeriksaan bakterioskopis selaput lendir
hidung lebih dulu negatif dari pada sediaan kulit ditempat lain. Indikasi
pengambilan sediaan apus kulit: Semua orang yang dicurigai menderita kusta
Semua pasien baru yang didiagnosis secara klinis sebagai pasien kusta Semua
pasien kusta yang diduga kambuh (relaps) atau karena tersangka kuman resisten
terhadap obat Semua pasien MB setiap 1 tahun sekali Pemerikaan bakteriologis
dilakukan dengan pewarnaan tahan asam, yaitu ziehl neelsen atau kinyoun gabett
Cara menghitung BTA dalam lapangan mikroskop ada 3 metode yaitu cara zig zag,
huruf z, dan setengah atau seperempat ditemukan lingkaran. adalah Bentuk kuman
yang mungkin bentuk utuh (solid), pecah-pecah (fragmented), granula
(granulates), globus dan clumps. Indeks Bakteri (IB): Merupakan ukuran
semikuantitatif kepadatan BTA dalam sediaan hapus. IB digunakan untuk
menentukan tipe kusta dan mengevaluasi hasil pengobatan. Penilaian dilakukan
menurut skala logaritma RIDLEY sebagai berikut: bila tidak ada BTA dalam 100 lapangan
pandang bila 1-10 BTA dalam 100 lapangan pandang bila 1-10 BTA dalam 10
lapangan pandang bila 1-10 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang bila 11-100
BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang bila 101-1000 BTA dalam rata-rata 1
lapangan pandang :bila >1000 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang
Morfologi (IM) Merupakan persentase BTA bentuk utuh terhadap seluruh BTA. IM
digunakan untuk mengetahui daya penularan kuman, mengevaluasi hasil pengobatan,
dan membantu menentukan resistensi terhadap obat.
PENCEGAHAN
Dulu perubahan bentuk anggota tubuh
akibat lepra menyebabkan penderitanya diasingkan dan diisolasi. Pengobatan dini
bisa mencegah atau memperbaiki kelainan bentuk, tetapi penderita cenderung
mengalami masalah psikis dan sosial. Tidak perlu dilakukan isolasi.
Lepra hanya menular jika terdapat dalam
bentuk lepromatosa yang tidak diobati dan itupun tidak mudah ditularkan kepada
orang lain. selain itu, sebagian besar secara alami memiliki kekebalan terhadap
lepra dan hanya orang yang tinggal serumah dalam jangka waktu yang lama yang
memiliki resiko tertular. Dokter dan perawat yang mengobati penderita lepra
tampaknya tidak memiliki resiko tertular.
PENATALAKSANAAN
Tujuan
utama program pemberantasan kusta adalah penyembuhan pasien kusta dan mencegah
timbulnya cacat serta memutuskan mata rantai penularan dari pasien kusta
terutama tipe yang menular kepada orang lain untuk menurunkan insiden penyakit.
Program Multi Drug Therapy (MDT) dengan kombinasi rifampisin, klofazimin, dan
DDS dimulai tahun 1981. Program ini bertujuan untuk mengatasi resistensi dapson
yang semakin meningkat, mengurangi ketidaktaatan pasien, menurunkan angka putus
obat, dan mengeliminasi persistensi kuman kusta dalam jaringan. Rejimen
pengobatan MDT di Indonesia sesuai rekomendasi WHO 1995 sebagai berikut:
1. Tipe PB ( PAUSE BASILER) Jenis obat dan dosis
untuk orang dewasa : Rifampisin 600mg/bln diminum didepan petugas DDS tablet
100 mg/hari diminum di rumah Pengobatan 6 dosis diselesaikan dalam 6-9 bulan
dan setelah selesai minum 6 dosis dinyatakan RFT meskipun secara klinis lesinya
masih aktif. Menurut WHO(1995) tidak lagi dinyatakan RFT tetapi menggunakan
istilah Completion Of Treatment Cure dan pasien tidak lagi dalam pengawasan.
2. Tipe MB ( MULTI BASILER) Jenis obat dan dosis
untuk orang dewasa: Rifampisin 600mg/bln diminum didepan petugas Klofazimin
rumah DDS 100 mg/hari diminum dirumah Pengobatan 24 dosis diselesaikan dalam
waktu maksimal 36 bulan sesudah selesai minum 24 dosis dinyatakan RFT meskipun
secara klinis lesinya masih aktif dan pemeriksaan bakteri positif. Menurut WHO
(1998) 300mg/bln diminum didepan petugas dilanjutkan dengan klofazimin 50 mg
/hari diminum di pengobatan MB diberikan untuk 12 dosis yang diselesaikan dalam
12-18 bulan dan pasien langsung dinyatakan RFT. Dosis untuk anak Klofazimin:
Umur dibawah 10 tahun : Bulanan 100mg/bln Harian 50mg/2kali/minggu Umur 11-14
tahun Bulanan 100mg/bln Harian 50mg/3kali/minggu DDS:1-2mg /Kg BB
Rifampisin:10-15mg/Kg BB Pengobatan MDT terbaru Metode ROM adalah pengobatan
MDT terbaru.
Menurut
WHO(1998), pasien kusta tipe PB dengan lesi hanya 1 cukup diberikan dosis
tunggal rifampisin 600 mg, ofloksasim 400mg dan minosiklin 100 mg dan pasien
langsung dinyatakan RFT, sedangkan untuk tipe PB dengan 2-5 lesi diberikan 6
dosis dalam 6 bulan.
Untuk
tipe MB diberikan sebagai obat alternatif dan dianjurkan digunakan sebanyak 24
dosis dalam 24 jam. Putus obat Pada pasien kusta tipe PB yang tidak minum obat
sebanyak 4 dosis dari yang seharusnya maka dinyatakan DO, sedangkan pasien
kusta tipe MB dinyatakan DO bila tidak minum obat 12 dosis dari yang
seharusnya.
PROGNOSIS
Pada umumnya baik, hanya jika pasien
mampu mengikuti program secara teratur
No comments:
Post a Comment