Dari Ibnu Abbas Rodhiyallaahu'anhuma: "Mani, Wadi dan Madzi. Jika (keluar)
Mani, maka mandilah. Adapun bila (keluar) Madzi atau Wadi, maka cukup dengan
berwudhu."(HR. Al Atsram dan Imam baihaqi)
Dalam hadits yang diriwayatkan Imam
Baihaqi disebutkan: "Adapun bila
(keluar) Wadi atau Madzi, maka cucilah kemaluannya dan berwudhu seperti
wudhunya sholat."
Dari dua hadits ini menjelaskan kepada
kita bahwa seseorang yang keluar Mani, saat hendak melaksanakan sholat mesti
mandi janabah. Adapun sesorang yang keluar Madzi atau Wadi, maka cukup dengan berwudhu
dan tidak perlu mandi janabah.
Pertanyaan selanjutnya, bila keputihan
tersebut mengenai pakaian maka sebagaimana hadits Asma binti Abu Bakar
Rodhiyallaahu'anhuma, ia berkata: "Telah
datang seorang wanita kepada Rosuulullaahi Shollallaahu A`laihi Wasallam, lantas
wanita tersebut bertanya: Salah seorang diantara kami bajunya terkena darah
haidh, apa yang mesti kami perbuat? Rasul menjawab: Gosoklah (noda itu) dengan
jari tangan, basuhlah dengan air, setelah itu ia telah boleh memakainya
(kembali) untuk sholat.(HR. Bukhori/ I / hal. 66 dan Muslim / I / hal. 240
/ no. 110)
Menurut hadits diatas bahwa cara
membersihkan najis yang mengenai pakaian adalah dengan mencucinya.
Hal ini juga sejalan dengan firman Allaah
Subhaanahu Wa Ta`ala: "Dan pakaianmu
bersihkanlah."(Surah Al Mudatsir: 4)
Menurut Imam Syafi'i, bahwa ada dua
kategori sesuatu itu disebut najis. Pertama, bila sesuatu itu keluar dari dalam
vagina, maka ia najis. Seperti, darah haidh, istihadhoh, air kencing dan
keputihan. Kedua, bila sesuatu itu di luar vagina, maka yang demikian itu tidak
termasuk najis.
Mengenai seorang wanita yang
terus-terusan mengalami keputihan, menurut Imam Abu hanifah ada keringanan
(rukhshah), yaitu pakaian yang terkena keputihan tidak perlu di cuci. Hal ini
disamakan dengan wanita yang mengalami Istihadhoh, namun tetap; baik yang
keputihan ataupun Istihadhoh mesti berwudhu setiap hendak melaksanakan sholat.
Berikut definisi dari keempat
cairan di atas, yang dari definisi tersebut bisa dipetik sisi perbedaandi
antara mereka:
1. Kencing:
Masyhur sehingga tidak perlu dijelaskan, dan dia najis berdasarkan Al-Qur`an,
Sunnah, dan ijma’
2. Wadi:
Cairan tebal berwarna putih yang keluar setelah kencing atau setelah melakukan
pekerjaan yang melelahkan, misalnya berolahraga berat. Wadi adalah najis berdasarkan
kesepakatan para ulama sehingga dia wajib untuk dicuci. Dia juga merupakan
pembatal wudhu sebagaimana kencing dan madzi.
3. .
Madzi: Cairan tipis dan lengket, yang keluar ketika munculnya syahwat, baik
ketika bermesraan dengan wanita, saat pendahuluan sebelum jima’, atau melihat
dan mengkhayal sesuatu yang mengarah kepada jima’. Keluarnya tidak terpancar
dan tubuh tidak menjadi lelah setelah mengeluarkannya. Terkadang keluarnya
tidak terasa. Dia juga najis berdasarkan kesepakatan para ulama berdasarkan
hadits Ali yang akan datang dimana beliau memerintahkan untuk mencucinya.
4. Mani:
Cairan tebal yang baunya seperti adonan tepung, keluar dengan terpancar
sehingga terasa keluarnya, keluar ketika jima’ atau ihtilam (mimpi jima’) atau
onani (wal ‘iyadzu billah), dan tubuh akan terasa lelah setelah
mengeluarkannya.”
Pendapat lain : Tapi, Syaikh
Muhammad al-Utsaimin menambahkan, untuk wanita yang selalu keluar cairan
keputihan ini, bahkan di dalam shalat sekalipun, maka hukumnya tidak merusak
wudhunya dan shalatnya tetap sah. Artinya, jika wanita tersebut sudah berwudhu
dan shalat, lalu keluar cairan keputihan dalam keadaan shalat, maka shalatnya
tetap sah. Argumentasi beliau adalah menyamakan kedudukannya dengan orang yang
menderita penyakit beser ( selalu keluar cairan kencing dari kelaminnya dan
seringkali tanpa ia sadari ). Kondisi seperti ini tak membuat shalat orang
tersebut batal.
Kesimpulannya, menurut Syaikh
Utsaimin adalah, jika hanya keluar sesekali saja, itu harus dibersihkan dan
membatalkan wudhu dan shalat. Namun, jika cairan itu sangat sering keluar, maka
hal itu tidak membatalkan shalat karena sudah berada di luar kemampuan dia.
Pendapat yang lebih kuat
dikemukakan oleh Syaikh Mushthafa al-Adawy dalam Jami’ Ahkam an-Nisa’ ( hlm.
67-68 ). Beliau berpendapat, cairan keputihan tersebut tidak termasuk najis.
Alasannya, pertama : tidak ditemukannya dalil yang menajiskan cairan tersebut.
Kedua, keterangan bahwa setiap yang keluar dari dua jalan ( dubur dan kelamin )
adalah najis hanyalah kesimpulan para ulama. Tak ada keterangan dari al-Quran
dan Sunnah yang tegas menyebutkan bahwa setiap yang keluar dari dua jalan itu
najis. Ketiga, cairan jenis tersebut keluar dari saluran rahim dan bukan keluar
dari saluran kencing yang sifatnya najis. Keempat, menganalogikan keputihan
dengan darah istihadhah. Darah istihadhah hukumnya tidak membatalkan shalat.
Wanita hanya diharuskan untuk berwudhu setiap kali hendak shalat atau
mandi dengan menjama’ shalatnya. Jika darah istihadhah saja yang juga merupakan
penyakit tidak membatalkan shalat, demikian pula halnya dengan darah keputihan
Sumber: Fiqih Sunah, Sayid Sabiq, Jilid I, hal.
23-26 Al Fiqhu Al Islami wa Adilatuhu, Dr.
Wahbah Zuhaily, jilid I, hal. 366-370
Terima kasih untuk berbagi informasi dengan kami , Setelah membaca artikel Anda saya menjadi sangat tertarik dengan blog yang Anda kelola
ReplyDelete