penulis : Donny Muhammad Ramdhan
Sow a habit, and you reap a character,
—Emerson, Ralph Waldo
Old habit die hard,
Begitulah
kata Mick Jagger, dan aku harus akui itu memang benar. Kebiasaan lama
memang sulit dihilangkan. Belum sebulan aku menjadi Muslim, lalu di
jumat malam, sepulang dari kantor, aku hadiri sebuah pesta, menghabiskan
dua pitcher margarita, dan berakhir dengan zina dengan seorang wanita.
Hang-over
membuatku kesiangan dan bablas nggak solat subuh. Aku terbangun ketika
matahari telah tinggi. Dentuman-dentuman keras terasa berirama di
kepalaku ketika aku memaksakan diri beranjak, membuatku tidak sepenuhnya
sadar, atau bahkan tidak peduli kalau partner zinaku telah raib entah
ke mana. Yang aku sadari pasti, rasa bersalah mulai menggelayut di dalam
dadaku. Aku sudah tidak lagi Muslim, begitulah pikirku.
Aku sempat menangis sebelum mual memaksaku bergegas ke jamban dan muntah.
Aku habiskan akhir pekan itu dengan mabuk. Aku sudah rusak, kenapa nggak hancur sekalian!
Self loathing…. Self elimination…. Self annihilation….
Senin pagi.
“No
offense, but you look like sh*t,” komentar seorang rekanku saat aku
keluar dari lift menuju cubicle-ku. Penampilanku memang rapi, tapi
berbeda dengan mukaku; tirus, pucat, berhias noda hitam di bawah mata.
“Non taken. I feel like sh*t,” jawabku, “Kurang tidur.”
Rekanku itu berkomentar lagi, tapi aku tidak mendengarkan. Aku langsung menuju cubicle-ku dengan niat langsung bekerja.
Huff, let’s get this over with! Satu hari yang lain dalam hidup tanpa makna ini. GOD, I feel sooo… empty!
Tapi kemudian, alih-alih bekerja, aku malah melamun.
Kamu
tahu? Sejam sebelum ini, ketika aku keluar dari stasiun subway, aku
dihadang sebuah lubang di lantai beton trotoar. Mungkin lebih tepatnya
sebuah celah, karena besarnya tidak lebih dari empat inci. Yang
membuatku berhenti adalah sejumput rumput liar tumbuh dari celah itu.
Well, kamu bisa bayangkan bagaimana ramainya trotoar Wall street di pagi
hari, kan? Padatnya manusia-manusia dengan langkah cepatnya, membuat
sejumput rumput itu begitu kontras dan seketika mengetuk imajinasiku.
Seolah diam tenangnya rumput itu. bertanya, “Hendak kemana engkau, wahai
manusia, dengan langkah terburu-buru itu?”
Aku
hampir menangis, kamu tahu itu? Rumput itu membuatku melihat
orang-orang di sekitarnya menjadi tak lebih dari… dari… robot-robot
bernyawa…. Dan aku salah satunya.
Aku
masih menatap rumput itu dan membantin, “Ya, Tuhan, seandainya Engkau
ada, tentunya Engkau lebih memihak rumput itu daripada manusia-manusia
ini, kan?” Oh, tentu saja Tuhan lebih memihak rumput itu! Lihat saja,
langkah cepat robot-robot bernyawa ini tidak ada yang berani
menginjaknya!
Aku tinggalkan rumput itu. Dia akan berjaya, setidaknya sampai pihak Pemeliharaan Kota New York menambal celah itu.
Lamunanku
terusik oleh datangnya seseorang. Seorang office clerk berbadan besar.
Dia menyerahkan sebuah folder berisi prospectus sebuah perusahaan
farmasi yang akan aku jadikan basis analisa buat bosku apa dia mesti
berinvestasi di perusahaan itu atau tidak. Aku terima folder itu bersama
resolusi pahit di bantinku, kembali menjadi robot bernyawa….
Berbeda
dengan senin yang lalu. Meski aku bekerja seperti ini, aku masih merasa
punya arti karena aku masih Muslim. Aku masih punya Tuhan untuk menjadi
acuan dan tujuan hidup. Tapi sekarang….
Tiba-tiba
aku dikejutkan oleh sebuah suara. Suara itu tidak keras, tapi
tiba-tiba! Suara itu berasal dari office clerk tadi yang hendak
meninggalkan cubicle-ku. Aku tidak pernah memperhatikan kalau dia selalu
memasang earphone di telinganya, jikapun aku sadari, aku akan segera
berasumsi dia mendengarkan musik atau semacamnya, dan tak akan pernah
terpikir kalau dia mendengarkan…
“Innallaha ghofururrohiiiim!”
Al Quran! Ya, aku yakin dia mendengarkan Al Quran!
Suara
itu aku dengar ketika tanpa sengaja kabel earphone Office clerk itu
tersangkut sudut partisi cubicle. Dia pun tampak terkejut dan seketika
tampak mukanya memerah karena malu. Dia langsung mematikan media
player-nya dan sempat menatapku sejenak sebelum berkata, “Maaf, Sir.”
Lalu pergi.
Aku tidak berkata apa-apa dan hanya tertegun menatapnya pergi.
Dia
seorang pria kaukasiod berbadan besar dengan kepala botak dan berwajah
sangar. Yang menarik, di tengkuk clerk ini terdapat tato berbentuk
pentagram yang bisa aku tebak semacam simbol genk atau semacamnya, atau
bahkan mungkin semacam occult pemuja setan, entahlah. Pertama kali aku
melihatnya aku sempat bertanya-tanya, “Apa dia seorang residivis atau
apa? Bisa-bisanya personalia menerima dia bekerja di sini.” Dan tentu
saja tidak pernah terpikir olehku kalau dia seorang Muslim.
Dia
seorang Muslim? Benarkah? pikirku. Dan aku sempat penasaran akan sosok
besar itu. Meski penasaran itu terlibas, hilang terlupa oleh
kesibukanku.
Keluar
kantor aku tidak langsung pulang. Aku mampir ke sebuah pub. Ya, ya, aku
tahu ini bukan langkah yang baik! Tapi aku tidak bisa menahannya!
Lagipula state of mind-ku masih berangapan aku tidak lagi Muslim. Tidak
ada yang bisa aku lakukan selain kembali kepada alkohol dan
hangar-bingar musik sebagai alat yang bisa membuat otakku kebas dan
mengalihkan perhatianku dari… dari hidup….
Sebenarnya
sebelum masuk pub itu aku sudah bisa menduga skenario yang bakal
terjadi. Aku akan membuka diri dengan memesan martini, kemudian sambil
mengangguk-angguk seiring musik, mataku akan jelalatan mencari lawan
jenis, dan ketika ada kontak mata, lalu berkenalan, flirting, dansa,
lalu berujung ke zina. Skenario itu berjalan dengan baik, dan nyaris
sempurna kalau saja cewek yang aku flirt itu belum punya pacar. Kamu
bisa menduga pacarnya itu marah, kan? Dan ternyata dia punya beberapa
teman—entah berapa orang tepatnya; aku sulit menghitung setelah lima
martini yang aku tegak. Mereka menyeretku ke luar pub dan memukuli aku.
Well, sebenarnya itu tak perlu terjadi seandainya sisi self
destructive-ku tidak muncul—dengan kata lain, aku menantang mereka
berkelahi, meski tahu aku sendirian.
Hanya
saja, setelah sebuah pukulan yang membuatku jatuh terjengkang, aku
mendengar suara berat yang sepertinya aku kenal berkata, “Itu sudah
cukup, guys, jika kalian tidak ingin kubuat lumpuh!”
Sambil terlentang aku mendongak, dan melihat sosok besar berkepala botak.
Clerk itu!
Clerk itu memang sendiri, tapi sosok besar dan sangarnya membuat mereka kecut dan pergi.
“Kau
seharusnya nggak usah ikut campur!” dengusku seperginya mereka. Aku
coba berdiri, tetapi gagal. Kepalaku terasa berputar-putar.
“Maaf, Sir,” tanggapnya datar seraya membantuku berdiri dan memapahku.
“Bagaimana kau bisa ada di sini?” tanyaku.
“Saya tinggal di dekat sini, Sir.”
Mendadak aku mual dan muntah.
“Ayo,
Sir, biar saya belikan secangkir kopi ,” katanya setelah aku puas
muntah. Dan dia memapahku memasuki sebuah kedai. Memapahku sampai duduk
di sebuah meja, lalu dia duduk berseberangan denganku. Dia panggil
seorang pelayan dan memesan satu poci kopi. Lalu sambil menunggu kopi
kami, dia duduk dengan tenang sambil menatap keluar jendela kedai. Dia
diam saja.
Dia
diam saja ketika kopinya datang, dan masih diam ketika menuangkan
secangkir untukku. Dia nikmati kopinya sambil menatap jendela kedai dan
tetap diam meski aku terus memperhatikannya.
“Siapa
namamu?” tanyaku setelah jengah dalam diam dan yakin pria besar di
depanku ini tidak punya inisiatif untuk membuka pembicaraan. Aku ambil
sebungkus rokok dari saku celanaku.
“Ben, Sir,” jawabnya.
“Aku Alex,” tanggapku seraya menyelipkan sebatang rokok ke sudut bibirku. “Dan kau seorang Muslim?”
“Ya, Sir, saya Muslim.”
Aku
tawarkan rokokku dan dia tampak ragu sejenak sebelum akhirnya
mengambil sebatang. Aku ambil pemantik dan menyalakan rokokku. Lalu aku
hendak menyalakan punyanya, tapi dia menolak dengan berkata, “Sebenarnya
saya sudah berhenti, Sir.”
“Sori.”
“Tidak apa-apa, Sir. Seperti kata orang-orang, old habit die hard.” Dia merunduk sambil memilin-milin rokoknya.
Aku mendengus. “Tell me about it! Dan jangan panggil aku, Sir! Just Alex.”
Aku
hisap rokokku dalam-dalam sebelum melanjutkan pembicaraan. “Kau tahu,
Ben? Aku juga seorang Muslim—well, setidaknya sampai jumat kemarin.”
Kening lebar Ben mengerenyit. “Anda tidak lagi percaya sama Islam?” tanyanya.
“Oh, aku percaya—more than ever. Aku hanya,” mendadak aku merasa ragu, “aku sudah melakukan dosa.”
“Benarkah?”
Dia terperanjat seolah tidak percaya, tapi terkesan kasual, bahkan
sepertinya dia menemukan sesuatu yang lucu dari ucapanku.
“Apanya yang lucu?” sergahku.
“Nothing,
Sir. Hanya, yang saya tahu, berdosa tidak berarti Anda tidak lagi
Muslim. Selama Anda percaya Tuhan dan percaya Muhammad itu utusan-Nya,
Anda masih Muslim.”
“Benarkah?”
Kini giliran aku yang terperanjat seperti dia tadi, meski bentuk
emosinya berbeda. Aku melihat titik terang! “Meski dia… misalnya telah
membunuh ratusan orang?” lanjutku.
“Meski dosanya memenuhi langit, Sir.”
“Jangan panggil aku Sir!”
“Maaf, Sir. Sudah kebiasaan. Saya baru keluar penjara. Well, saya menjadi Muslim di penjara, Sir. Jadi saya tahu soal dosa.”
“Oh.”
Dari
remark singkatku itu kamu bisa menduga kalau aku seketika merasa
aprehensif, bukan? Terus terang, banyak yang aku ingin tanyakan tentang
islam, tapi tololnya perasaan aprehensif itu malah mendorongku bertanya
hal yang tidak berguna sama sekali.
“Kau pernah membunuh?” tanyaku.
Dia mengangguk. “Ya, Sir. Saya pernah membunuh.”
“Terus bagaimana kamu bisa menjadi Muslim?”
“Teman satu sel, Sir. Dia perlihatkan Al Quran, dan menunjukkan dosa yang lebih buruk dari membunuh.”
“Menyekutukan Tuhan, maksudmu?”
“Well, itu bukan yang dia tunjukkan, Sir, tapi adultery (zina).”
“Benarkah?” aku terperanjat. Ada sesuatu dalam dadaku yang seketika ingin menolak perkataannya itu.
“Di
surat Al Israa, kalau tidak salah, Sir. Sequence di Quran, Allah
menempatkan zina sebelum membunuh, dan bahasa yang digunakan untuk
membunuh, ‘Jangan membunuh,’ sementara untuk zina, ‘Jangan DEKATI
zina.’—Maaf, Sir, jika saya menyinggung perasaan Anda.”
“Tidak, tidak,” sanggahku, “Terlihat jelas, ya, kalau aku suka berzina?”
“Tidak,
Sir, bukan maksud saya menghakimi, tapi,” pandangannya kembali beralih
ke jendela dan tampak menerawang, “kita semua punya masa lalu
masing-masing, hanya saja, kita hidup di tengah struktur masyarakat
yang… yang… sakit. Hal semacam zina cenderung lebih mudah terjadi.”
Aku mendesah, “Yeah, kamu benar. It’s unescapeable.”
“Tidak
juga,” sanggah Ben, tersenyum dan menatapku. “Bisa dihindari, tapi
sulit. Sangat sulit! Apalagi kalau sudah menjadi kebiasaan.”
“Old habit die hard, right?” timpalku.
“Just
as old past won’t let you go away (Sebagaimana masa lalu yang tidak
sudi meninggalkanmu),” tambah Ben seraya mengalihkan pandanganya,
kembali ke jendela dan kembali menerawang.
Keningku mengerenyit dan menatapnya heran.
Tiba-tiba
dia berkata, “Anda tahu, Sir? Ada pepatah, ‘Menabur Kebiasaan, maka
akan menuai Karakter’. Dan… di Quran, Allah menggambarkan zina sebagai
‘jalan’ (path) yang buruk. Yang menarik, Sir, di otak kita ada bagian
bernama Basal Ganglia, yang ketika impuls dilepas akibat tindakan kita
yang berulang, impuls itu membentuk ‘jalur’ (path), dan jalur itu
menjadi—”
“Habit (kebiasaan),” potong aku.
“Yes,
that’s right, Sir. Kebiasaan menentukan siapa kita! Dan korelasinya
dengan membunuh, zina adalah pembunuhan karakter kita, Sir. Well, saya
mengalaminya secara langsung; untuk bisa membunuh, karakter kita harus
mati terlebih dahulu. Mungkin itu alasan Allah menempatkan zina lebih
buruk dari membunuh. Zina bisa membunuh karakter kita dengan cepat.
Setelah karakter kita mati, kita bisa menjadi orang terbejat yang bisa
kita bayangkan, bahkan lebih!”
Aku tercenung. Dan mengingat kejadian tadi di luar pub, bisa jadi aku akan membunuh! Well, jika aku tidak terbunuh duluan!
“Wow,
that’s deep,” ucapku seraya menghisap rokokku dan menghembuskannya
kuat-kuat seraya menengadahkan kepalaku. Terasa bola mataku bergerak
cepat, meredam keterpekuranku. Dan mantan napi ini menyelamatkan aku…
“Maaf,
Sir, sebenarnya saya tidak bisa berlama-lama,” ucap Ben tiba-tiba,
membuatku segera menatapnya. “Saya sedang dalam perjalanan menuju
Mesjid. Saya mohon diri dulu.”
“Bo—boleh
aku ikut?” responku cepat-cepat. Terus terang aku tidak tahu kenapa aku
mesti merespon seperti itu; mungkin aku melihat sebuah kesempatan, atau
hanya ingin mengenal lebih jauh lagi sosok Ben ini.
Ben tersenyum. “Tentu. Ayo.” Dia beranjak, membayar kopi kami dan keluar kedai.
Aku
matikan rokokku di asbak sebelum bisa mengikuti langkahnya. Di luar,
aku mengambil sebatang lagi. Sambil menyalakannya, aku berkata,
“Bagaimana kau bisa berhenti merokok, Ben? Aku sendiri sulit sekali.”
Ben
terdiam sejenak. “Ada sebuah lelucon,” katanya, “Well, lebih tepatnya
sebuah cerita, Sir. Ada seorang perokok berat, dia punya teman seorang
Imam, Sheik, atau apalah. Dan, temannya ini bertanya, ‘Kapan kamu mau
berhenti merokok?’ Dia menjawab dengan mulut masih mengepul, ‘Berdoalah
untuk saya, Sir.’ Si Imam itu langsung mengambil posisi berdoa dan
berkata, ‘Baiklah, mari kita berdoa. Oh, Allah, Penguasa langit dan
bumi, limpahkan kepada teman hamba ini, rahmat dan berkahMu. Karuniakan
kepadanya istri dan keturunan yang sholeh, yang membahagiakannya. Ya,
Allah, karuniakan kepada teman hamba ini kesehatan yang membawa berkah,
yang membawanya kepada RidhoMu, ya Allah.’ Pada titik ini si Imam
menangis, dan si perokok itu ikut menangis sambil mengamini doanya.
Lalu, si Imam melanjutkan, ‘Oh, Allah, dan jangan berikan semua itu
sampai teman hamba ini berhenti merokok!’”
Aku
mendengus dan sempat hendak tertawa, tapi juga sekaligus aku merasakan
sindiran yang cukup tajam. “You got me there,” ucapku malu seraya
menahan tawa.
“Well,
saya tidak berniat menyinggung perasaan Anda, Sir, dan itu juga bukan
kisah saya. Tapi kisah itu cukup ‘mengguncang’ saya. Bagi saya, kisah
itu hanya cara lain untuk mengatakan sebuah pertanyaan, ‘Kamu SUNGGUH
ingin berubah atau tidak?’”
Aku terpekur. Dan tanpa sepenuhnya aku sadari, aku menjatuhkan rokokku.
“Anyway, Sir, bagaimana Anda bisa menjadi Muslim?” tanya Ben tiba-tiba.
Aku
tatap Ben sejenak sebelum berpaling dan menjawab, “Tanpa sengaja aku
hadiri sebuah konfrensi Islam di Chicago sebulan yang lalu. Aku
bersyahadat di sana, mendapat beberapa buku, DVD dan Al Quran, lalu
balik lagi ke sini.”
“Anda tidak—” Ben tidak melanjutkan kalimatnya karena mendadak seseorang memanggil.
“Benjamin Walken!”
Kami
berpaling dan melihat empat orang pemuda. Keempatnya mengenakan sweater
berwarna sama, dan kerudung sweaternya menutupi sebagian wajah mereka.
Lalu kulihat mereka membuka kerudung sweater mereka bersamaan. Kulihat remaja laki-laki belasan tahun berkepala plontos.
“Master
Lambert menyampaikan salam,” kata salah seorang yang badannya lebih
besar. Lalu kulihat dia mengeluarkan sebilah belati. Yang lainnya pun
mengeluarkan senjata mereka.
Melihat itu nafasku serasa tersekat. Rasa takut mencengkramku dengan cepat! Tapi sepertinya berbeda dengan Ben.
“Step a side, Sir,” kata Ben datar, lalu dia menghampiri mereka.
Mereka
langsung menyerang Ben! Sempat aku perhatikan di tengkuk empat remaja
itu terdapat tato pentagram seperti yang terdapat di tengkuk Ben. Akupun
teringat perkataan Ben, “Just as old past won’t let you go away….”
Mereka adalah hantu-hantu masa lalu Ben.
Ben
mungkin hanya sendiri, sementara lawannya berempat dan bersenjata, tapi
mereka hanyalah anak-anak. Ben jelas sudah banyak pengalaman dalam
menghadapi agresi seperti ini. Dengan cepat dia melumpuhkan empat remaja
itu. Keempatnya tersungkur di trotoar sambil meringis. Kemudian kulihat
Ben merogoh saku belakang celana keempat remaja itu. Dia ambil dompet
mereka dan kulihat dia mengambil semacam kartu dari dompet mereka.
“Si
Lambert itu pecundang!” seru Ben kemudian. “Dia tahu bakal kalah dariku
dan dia hanya bisa menyuruh kalian! Dan kalian menyembahnya? Dengar!
Aku dapatkan kartu pelajar kalian! Jika aku tahu kalian bolos atau
bahkan tidak mendapat nilai A di setiap mata pelajaran kalian,
percayalah, aku akan memburu kalian! Sekarang kalian tahu kapabilitasku!
Now, Scram!”
Tertatih-tatih, keempat remaja itu menyingkir.
“Siapa Lambert ini?” tanyaku saat Ben menghampiri.
“Hanya kenalan lama,” jawab Ben.
“Pemimpin semacam gank?”
“Ya, semacam itu.”
“Old past never let you go, huh?” ucapku saat kami kembali melanjutkan perjalanan.
Ben tersenyum. “Yeah, just like old habit.”
Aku
ikut tersenyum. “Kamu tahu? Kalau aku tidak salah, di Islam ada konsep
Hijrah, right? Kenapa tidak pindah saja ke kota lain? Lepas dari
jangkauan mereka.”
Ben mendengus. “Tidak punya uang, Sir.”
Aku
termenung sejenak. “Mungkin aku bisa membantu soal itu. Aku juga
sepertinya mesti pindah dari kota ini. Memulai hidup baru untuk
menghilangkan kebiasan-kebiasaan burukku.”
Kulihat
Ben terpekur dan berhenti berjalan. Dia menatapku. “Sa—saya tidak tahu,
Sir. Sepertinya saya tidak bisa menerima kebaikan seperti itu, Sir.”
“Ah, itu kita bahas lain kali!” sergahku, “Sekarang ini aku butuh bantuan yang lebih urgent.”
“Apa itu, Sir?”
“Mungkin
kamu bisa menemaniku setiap pulang kerja. Menjaga langkahku supaya
tidak masuk pub atau semacamnya. Dan mungkin mengajakku ke mesjid. Kau
bisa?”
Ben tersenyum. “It’ll be my privilege, Sir.”
“Good! It’s a deal!” Aku ulurkan tanganku dan dia menjabatnya.
Aku tarik nafas panjang dan kamipun kembali berjalan. Entah kenapa aku merasakan perasaan lega yang aneh.
Untuk
beberapa saat kami terdiam. Di saat terdiam itu, aku rasakan
aliran-aliran impuls di benakku yang mungkin bisa dikatakan melamun,
tapi tiba-tiba lamunan itu membuatku menyadari sesuatu.
“Kau tahu, Ben? Di Al Fatihah, kita meminta ditunjukkan ke pada jalan yang lurus, right?” kataku.
“Ya, Sir.”
“Kau tahu jalan dibangun dari apa? Bukan beton. Bukan Aspal. Tapi langkah-langkah!”
Ben
tersenyum. “Benar, Sir. Sebagaimana langkah membangun jalan, kebiasaan
membangun karakter kita, Sir. Mungkin itulah alasan kenapa kita mesti
sholat lima kali sehari, Sir.”
“Ya, aku setuju. Anyway, aku berharap langkah-langkah kita selanjutnya benar-benar langkah yang benar.”
“Dan berada dalam petunjuk Allah, Sir.”
“Amin.”
Amin….
Donny Muhammad Ramdhan
No comments:
Post a Comment