Aku selalu menunggu cerpen-cerpen karya Donny, selalu inspiratif dan bikin terharu. Untuk itu aku berbagi cerpen ini, agar kalian juga merasakan hal yang sama denganku. hehe. cekidooottt.....
Percayalah pada Yankees, Anakku.
--Ernest Hemmingway dalam “Oldman and The Sea”
America’s tragedy.
--George Bernard Shaw, yang beliau tujukan pada olah raga Baseball
“Playball!”
Begitulah
Ahmad memekik dan aku tahu itu adalah signal bagiku untuk melempar
bola. Tapi, kami tidak sedang bermain baseball! Kami sedang bertaruh
antara hidup dan mati! Jelas kami tidak berada di lapangan!
Ironisnya,
pekikan Ahmad itu mengingatkan aku pada suatu pagi di mana Zack,
sepupuku, memekikkan kata yang sama saat melompat keluar di tikungan dan
mengayunkan tongkat baseball-nya kepada Ahmad. Tongkat itu akan
mendarat di dadanya kalau saja bocah Arab itu tidak sempat menghadang
dengan kedua lengannya. Tapi memang tak ayal dia terdorong mundur juga
dan terjungkal! Setelah dia terjungkal seperti itu, ritual biasa pun
berlangsung; kami menendanginya ramai-ramai.
“Pulang
ke kampungmu, Teroris! Kau tidak layak di sini!” pekik Zack saat kami
berhenti menendangi bocah Arab itu. Zack meludah, dan aku yakin dia
sebenarnya hendak meludahi muka Ahmad, tapi meleset.
Melihat
itu aku sempat mendengus. Zack memang punya tangan kuat yang akan
selalu mencetak home-run, jika dia berhasil memukul bola—aku tekankan,
JIKA dia berhasil memukul bola. Dia memang kuat tapi tidak punya senses
of accuracy. Dia tidak pernah bisa memukul bola dengan tepat. Itulah
kenapa Kakek lebih menyukaiku yang berhasil menjadi pitcher (pelempar)
favorit di tim inti klub Baseball sekolahku.
Meski meringis, Ahmad menyeringai dan berkata, “Kalian juga nggak layak di sini. Tanah ini milik orang-orang Cherokee.”
Zack
hendak mengayunkan tongkatnya lagi, tapi aku tahan seraya menunjuk ke
tikungan lain yang agak jauh. Kami melihat moncong Cadillac putih
berstrip biru muncul di tikungan itu. Mobilnya Sheriff!
Sontak
aku, Zack dan dua teman kami kabur sebelum mobil sheriff itu terlihat
seluruhnya. Kami berhasil kabur dan yakin kalau Ahmad tidak akan berani
melaporkan perbuatan kami—setidaknya itu menurut Zack. Menurutku
sendiri…, well, dari cara dia menahan dan melndungi diri dari serangan
kami, dia terkesan siap menghadapi kami; praktis dia bukan pengadu. Dia
tidak akan melaporkan kami karena dia lebih memilih berhadapan langsung
dengan agresi kami.
Ahmad
sebenarnya sesekolah denganku. Well, di kota kecil macam Apalachee Pass
ini, seluruh anak sebayaku memang satu sekolah. Dia sekelas denganku di
kelas Sains. Dia sebenarnya anak yang baik, dan ramah. Hanya saja,
hidungnya yang besar dan bengkok seperti paruh elang, janggut lebat dan
tutup kepala aneh yang selalu dikenakannya, benar-benar mencirikan dia
seorang Moslem—seorang teroris.
Memang
tidak sedikit di kota ini yang punya pandangan seperti ini terhadap dia
(juga terhadap keluarganya), tapi sepertinya dia tidak terpengaruh.
Maksudku, dia masih bersikap ramah meski dibully seperti itu, bahkan dia
tersenyum kepadaku saat tanpa sengaja kami berpapasan. Pernah suatu
siang di sekolah, Zack merampas topi aneh Ahmad dari belakang, lalu Zack
melemparnya kepadaku, dan aku yakin Zack berharap Ahmad mencoba
merebutnya kembali, tapi tidak. Dia malah diam dan tersenyum, lalu
berpaling seolah menunggu respon kami selanjutnya. Kulihat muka Zack
memerah karena marah. Aku coba meredam marah Zack dengan melempar topi
aneh Ahmad sekuat yang aku bisa ke muka Ahmad. Aku tahu topi itu tidak
akan melukai Ahmad, tapi bisa cukup mempermalukannya. Hanya saja
sejengkal lagi lemparanku mengenai mukanya, dia dengan sigap menangkap
topinya, padahal dia sedang berpaling, tidak melihat aku melemparnya.
Alih-alih dipermalukan, dia malah mempermalukan aku dan tentu saja
menambah marah Zack. Pulang sekolah kami memukulinya lebih lama dari
biasanya.
Zack
adalah sepupuku, dia lebih tua satu tahun dariku dan kami tinggal
bersama Kakek. Orang tua Zack raib entah kemana. Menurut Zack sendiri,
mereka meninggal ketika WTC runtuh 11 september silam, tapi sepertinya
itu tidak benar. Menurut Kakek, orang tua Zack tidak ada hubungannya
sama Manhattan, lebih-lebih sama WTC; ayahnya seorang berandalan geng
motor asal Los Angeles, sementara ibunya (putrinya Kakek) gadis bengal
yang…well, sebut saja mengecewakan Kakek dan Nenek. Meski aku tahu versi
Kakek lebih mendekati kebenaran, tapi aku lebih terpengaruh oleh delusi
Zack. Perlu kamu tahu ayahku (putra Kakek) meninggal ketika dinas di
Irak. Dengan fakta itu kamu bisa mengerti, kan, kalau delusi Zack lebih
menarik perhatianku? Sementara ibuku, dia masih hidup; dia sedang ada
kontrak kerja di Jerman.
Anyway, aku tidak menyangka pandanganku terhadap Ahamad bisa bergeser.
Aku
ingat saat itu aku sedang latihan Baseball di lapangan sekolah. Aku
sedang melatih lemparan curve-ku ketika aku melihat Ahmad, cukup jauh di
luar lapangan, di bawah sebatang pohon ek. Dia sedang berdiri terdiam
cukup lama, lalu kulihat dia membungkuk, berdiri lagi, lalu dia
tersungkur sujud. Seketika aku tahu kalau dia sedang melakukan semacam
ritual sembahyang. Lalu sebuah ide muncul di benakku. Terus terang
sebenarnya aku tidak usah melakukannya, tapi pada saat itu ide itu
terasa menggelitik. Aku lempar bola melambung, jauh, ke arah Ahmad. Dan
tepat kena ke kepalanya!
Aku
angkat dua kepalan tanganku, bersorak dalam hati, YES!!! Tapi
kemenanganku itu sangat singkat. Tiba-tiba seseorang memukul kepalaku!
Aku mendongak dan melihat pelatihku, Mr. Norris, telah melepas topinya
yang tadi ia gunakan untuk memukul kepalaku.
“Ambil bolanya dan minta maaf sama dia!” tandas Mr. Norris.
“Tapi, Coach—”
Mr.
Norris melotot dan menunjuk supaya aku segera melaksanakan perintahnya.
“Setelah itu beri aku sepuluh putaran!” tandasnya lagi.
Aku diam. Aku melangkah pergi sambil merajuk dalam hati. Tentu saja aku tidak akan minta maaf! Tidak sudi aku minta maaf!
Aku
dekati Ahmad sambil mengepalkan tangan. Dia masih dengan ritualnya saat
aku sudah dekat. Aku pungut bolaku dan setelah itu kulihat dia telah
selesai dan menatapku sambil tersenyum.
Aku mendengus. “Coach bilang aku mesti minta maaf. Tapi kau tahu aku tidak akan melakukannya, kan?”
Dia berdiri. “Tidak perlu. Aku sudah memaafkan kamu,” katanya santai.
Aku meludah, “Kau pikir sikap manismu itu bisa mengelabui aku, Teroris!”
Dia
mengangkat bahu, “Aku tidak perlu mengelabui siapapun. Begitu juga
dengan kamu, kan? Maksudku, kebencianmu sama aku—sama Muslim—lebih
genuine. Well, ayah kamu meninggal di Irak, kan? Beda sama sepupumu,
Zack, yang… yang berlari dari kenyataan. Kebenciannya membuat dia merasa
lebih punya arti. Kebenciannya hanya menjadi saluran buat kemarahannya
terhadap… well terhadap orang tuanya, terhadap hidupnya sendiri….
Kasihan sebenarnya anak itu….”
Seiring ucapannya itu mataku terbelalak. Da—darimana dia tahu?
“Darimana kamu tahu?” sergahku di akhir keterpekuranku.
Ahmad
tersenyum, “Sun Tzu pernah menulis, ‘Jika kau mengenal dirimu sendiri
dan mengenal musuhmu, maka kau tidak akan pernah takut akan hasil dari
ratusan pertempuran.’ Well, sekarang aku sudah mengenal siapa kamu, kan?
Lalu apa kamu sudah kenal siapa aku? Seorang teroris? Cuma segitu?”
Aku terdiam. Dan mendapati aku terdiam, dia merogoh tasnya, mengeluarkan sesuatu; sebuah buku kecil.
“Tangkap!” katanya seraya melempar buku itu kepadaku.
Aku menangkapnya.
“Itu
adalah aturan mainku,” kata Ahmad, “code of conduct-ku sehari-hari.
Mungkin kam bisa mengenali siapa aku lewat buku itu. Dan mungkin kelak
kamu bisa ‘mematahkan’ aku.”
Aku mengerenyit dan menatap buku itu sebentar sebelum berpaling ke Ahmad dan berkata, “Apa-apan kau? Mengapa kau lakukan ini?”
Ahmad
mengangkat bahu. “Kalau kamu berhenti memukuli aku, aku akan sangat
menghargainya. Tapi kalau kamu masih mau, aku juga tidak keberatan. Aku
juga ingin tahu seberapa jauh aku bisa tumbuh kuat.”
Aku tatap dia, tapi dia malah tersenyum dan kemudian berkata, “Aku pergi. May peace be with you.” Dia pun menjauh.
Aku
kembali ke lapangan, dan aku penuhi detensi Pelatih berlari sepuluh
putaran. Tapi terus terang, sepuluh putaran itu tidak terasa olehku.
Benakku tersita penuh oleh adegan bersama Ahmad tadi. Apa yang
sebenarnya terjadi?
Usai
latihan, Kakek menjemputku. Tidak sengaja sebenarnya; katanya sekalian
jalan setelah pulang dari Home Depo buat beli perlengkapan berkebun
Nenek.
“Kena detensi?’ tanya Kakek menyambutku di mobil pick-up-nya. “Apa yang telah kamu lakukan?”
Aku hanya mengangkat bahu.
“Well, lihat sisi baiknya. Kamu akan jauh lebih kuat,” komentar Kakek santai.
Aku langsung menatap Kakek, tapi beliau tidak menyadari keterpekuranku; beliau telah fokus memperhatikan jalan.
Di
rumah aku langsung masuk kamar. Aku ambil buku pemberian Ahmad dan
membacanya sambil berbaring di tempat tidur. Code of conduct macam apa
yang dia punya sebenarnya?
Di
sampulnya tertulis, “Holy Quran”. Mendapati tulisan itu seketika benakku
mengacu pada stereotype kalau buku ini jahat…, ayat-ayat setan. Tapi
stereotype itu malah membuatku penasaran. Memangnya sejahat apa buku
ini?
Aku
buka buku itu. Buku itu terbagi jadi dua sisi; satu sisi bertuliskan
bahasa Inggris, sisi yang lainnya coretan asing yang bisa aku tebak
merupakan bahasa Arab.
In the name of God, The gracious, The Merciful…, aku mulai membaca.
Tujuh
baris pertama kubaca dan aku mulai berpikir, tidak ada yang salah
dengan ini. Tapi kemudian sebuah ide menumbuk benakku kalau ini semacam
muslihat. Aku tutup cepat-cepat buku itu! Terdiam sejenak, berpikir,
lalu sekonyong-konyong berdoa, “Oh, Tuhan, lindungi aku dari Iblis… dari
Setan….” Lalu aku buka kembali. Well, aku memang penasaran—sangat
penasaran.
Hanya
saja, aku terperanjat tiba-tiba karena jendela kamarku dibuka dan
seseorang masuk! Sebenarnya aku tidak perlu terperanjat karena seseorang
itu adalah Zack; dia sudah biasa memakai jendela kamarku untuk mencapai
atap. Di atap, aku dan Zack mendapatkan semacam sanctuary—tempat
pribadi dari jangkauan otoritas Kakek. Di atap biasanya Zack merokok,
membaca Playboy atau segala hal yang tidak mau diketahui Kakek.
Aku terperanjat karena tentu saja aku tidak ingin Zack tahu apa yang sedang aku baca, tapi sepertinya agak terlambat.
Perlahan Zack menjejak di lantai kamarku sebelum berpaling kepadaku dan bertanya, “Apa yang sedang kau baca?”
Memang
aku ingin menyembunyikannya, tapi aku teringat gaya Ahmad merespon dan
aku menirunya. “Quran,” jawabku santai seraya memperlihatkan buku itu.
“Quran? Buku setan! Untuk apa?” Aku dengar nada bicaranya meninggi.
“You
know, seperti kata Sun Tzu, ‘Kenali dirimu dan kenali musuhmu, maka
kau tidak akan takut ratusan pertempuran,’” jawabku masih santai.
Zack manggut-manggut. “Good point,” katanya seraya hendak pergi keluar kamarku.
“Hey,” panggilku lalu memberi isyarat kalau di telinga Zack terselip sebatang rokok.
Dia menyingkirkannya. “Kau punya permen?” tanyanya seraya mencoba mencium bau nafasnya sendiri.
Aku mengangkat bahu. “Gosok gigi saja!”
Dia pun pergi. Dan aku kembali ke Quran.
Terus
terang, aku bukan pembaca yang cepat. Mungkin karena itulah aku agak
lambat memahami isi Quran—maksudku aku tidak serta merta terkesima
dengan isinya—terus terang ada banyak yang aku tidak mengerti. Karenanya
juga aku tidak serta merta mengubah pandanganku terhadap Ahmad—meski
memang ada efeknya, tapi tetap saja lambat. Dan aku mesti mengerti Ahmad
dengan cara yang tidak di sangka-sangka; the hard way!
Selang
tiga hari, kelas sains-ku mengadakan fieldtrip ke Atlanta, ke Fernbank
Science Center. Dan tentu saja Ahmad ikut serta. Terus terang aku tidak
terlalu suka fieldtrip ini. Hanya satu hal yang membuatku bisa bertahan
untuk ikut; kesempatan melihat stadium baseball Atlanta Braves ketika
kami melintasi Route 85 menuju pusat Atlanta. Oh, God…, aku harap kelak
aku bisa berdiri di tengah stadium itu, mencetak lemparan-lemparan
terbaikku! Memang khayal itu hanya sebentar, tapi layak buatku. Dan aku
masih bisa bertahan dengan fieldtrip-nya dengan prediksi aku akan
melihat stadium megah itu lagi saat kami kembali pulang. Prediksi itu
ternyata keliru.
Pulangnya,
saat bis kami berhenti di sebuah lampu merah, tiba-tiba sebuah
keributan terjadi! Pintu depan bis kami dipaksa dibuka oleh dua orang
laki-laki bersenjata api! Teriakan bersahutan, yang kemudian dipaksa
diam oleh dua laki-laki itu! Filedtrip yang membosankan ini, berubah
menjadi sebuah skenario penyanderaan yang menegangkan!
Dua
laki-laki itu memakai semacam topeng. Dari apa yang sempat aku lihat
dan aku dengar, aku bisa berasumsi kedua orang itu telah merampok sebuah
bank, tapi gagal melarikan diri dan akhirnya menyandera kami.
Kami
dipaksa merunduk di kursi kami. Kudengar di luar sana polisi sudah
mengepung bis ini. Dan lewat pengeras suara mereka mulai bernegosiasi
dengan perampok gagal ini. Aku sendiri tidak terlalu memperhatikan
proses negosiasi itu, karena benakku masih dalam penyesalan kenapa aku
mesti ikut fieldtrip ini. Tapi kemudian, penyesalan itu dipaksa berhenti
oleh perasaan terkejut!
Ketika
kita duduk sambil dipaksa merunduk, yang kita bisa lihat hanyalah ujung
sepatu kita, ya, kan? Aku juga begitu, tapi tiba-tiba saja di antara
dua kakiku muncul kepala Ahmad! Tentu saja aku terkejut! Tapi aku hanya
bisa melotot untuk melepas keterkejutanku itu! Dia berbaring di kolong
bangku bis dan merayap dari dua bangku di depanku! Kini dia di bangkuku
dan memberiku isyarat untuk tetap diam dan memberiku bungkusan berbentuk
bulat.
Masih
terkejut, dan kini ditambah heran, aku raih bungkusan itu dan
membukanya. Sebuah bola? Ya, yang dibungkus itu sebuah bola baseball.
Dan bungkusannya terdapat tulisan.
Kamu
tahu apa yang mesti dilakukan jika saatnya tiba! Aku tahu kamu takut,
tapi jika kamu bisa melewati ini, aku yakin impianmu masuk Atlanta
Braves tidak akan jauh lagi. Percayalah!
Aku
membacanya dan terpana. Darimana dia tahu impianku? Aku tatap Ahmad dan
dia malah mengacungkan jempol sebelum memberiku isyarat untuk
mengangkat kakiku sedikit supaya dia bisa terus merayap ke bangku
belakang.
Tentu
saja aku terpekur. Apa yang dia rencanakan? Apa yang dia mau dariku?
Pikiran itu berulang-ulang berputar di benakku, tapi hati kecilku sadar
kalau sebenarnya aku tahu, aku punya gambaran apa yang Ahmad harapkan
dariku. Aku hanya ragu… dan takut. Lalu, dua menit kemudian, momen itu
datang…. Dan kamu tahu, jika kamu berlatih baseball (atau apapun
olahraganya) sesering aku, pada saat-saat tertentu kamu tidak akan bisa
berpikir lagi; yang mengendalikan dirimu hanyalah insting!
Aku lihat Ahmad berjalan melewati aku. Dan tentu saja apa yang dia lakukan menarik perhatian dua penyandera kami itu.
“Hey-Hey! Apa yang kau lakukan?” bentak salah seorang penyandera.
Ahmad berhenti dan memekik, “Playball!” lalu dia merunduk!
Pada
momen ini, aku sudah keluar dari bangkuku dan berdiri di belakang
Ahmad. Bola sudah di tanganku, dan ketika Ahmad memekik, tanganku sudah
mengambil ancang-ancang, dan ketika Ahmad merunduk, bola telah lepas
dari tanganku, melesat cepat dan menghantam muka salah seorang
penyandera!
Eh,
lalu bagaimana dengan penyandera yang lainnya? Pikiran itu sempat
membuatku ciut. Tapi kamu tahu? Ketika Ahmad merunduk itu, sebenarnya
dia juga sedang membangun ancang-ancang, dan ketika bolaku melesat, dia
juga ikut melesat dan menerjang lengan dan rahang penyandera yang
lainnya.
Dalam hitungan detik, kami terbebas dari drama penyanderaan ini!
***
Dalam
kondisi yang lain mungkin aku tidak akan pernah mau duduk di samping
Ahmad. Tapi kini aku duduk di sampingnya; bukan karena terpaksa atau
tidak ada pilihan lain, tapi…, mungkin karena perasaanku masih
kebas—masih sulit percaya dengan apa yang baru saja kami alami. Aku dan
Ahmad duduk di semacam ruang tunggu kantor polisi. Kami baru saja
memberikan keterangan kami tentang apa yang kami lakukan saat drama
penyanderaan itu. Kamu tahu? Penyandera yang kena lemparanku mengalami
gegar otak, sementara yang lain patah rahangnya.
“Kau takut?” tanyaku pelan dan aku tidak bisa menahan gemetar dari nada suaraku.
“Sangat,”
jawab Ahmad. “Bagaimanapun aku seorang Muslim. Sudah jadi stereotype
kalau kami ini teroris. Polisi mungkin akan menahan aku lebih lama
lagi.”
“Bukan,
maksudku ketika di bis tadi. Bagaimana bisa kamu memikirkan ide itu?
Merangkak di kolong bangku bis? Lebih-lebih darimana kamu tahu impianku
masuk Atlanta Braves?”
Ahmad
tersenyum, “Elementary, Watson,” jawabnya meniru tokoh detektif
Sherlock Holmes, dan kemudian dia tertawa. “Well, sebenarnya aku tidak
tahu. Lagipula itu sudah berlalu; nggak ada gunanya membahasnya. Tapi,
coba tebak, sekarang di luar sana para wartawan sedang berkumpul. Mereka
ingin mencari tahu, siapa yang membuat seorang bajingan gegar otak oleh
lemparan cepatnya. The next thing you know, kamu akan terpampang di
koran-koran sebagai, ‘Out-gunner dari Apalachee Pass’. Well, kita sedang
di Atlanta, kan? Aku akan heran kalau Atlanta Braves akan tinggal diam
mendengar berita semacam itu!”
Aku terperangah. “Ke—kenapa kamu melakukannya? Ma—maksudku, apa kamu tidak membenciku? Aku yang selama ini mem-bully kamu."
Kulihat
tatapan Ahmad menerawang, tapi dia masih tersenyum. “Kamu tahu darimana
asal kebencian?” tanyanya tiba-tiba, “Kebencian datang dari rasa takut;
takut yang berasal dari ketidaktahuan—ketidak mengertian. Aku tidak
takut terhadapmu, karenanya aku tidak bisa membencimu.” Lalu Ahmad
mendengus, “Lagi pula, kalau kamu fans-nya Atlanta Braves, kamu pasti
tahu perkataan ini, ‘Aku yang memegang pemukulnya, biar dia yang
memegang bola gemetar ketakutan.’”
Aku
mengerenyit heran, terus terang aku tidak tahu Ahmad mengutip kata-kata
siapa, tapi kemudian jawabannya datang dari tempat yang tidak aku duga.
“Hammering
Hank.” Kudengar suara Kekek dari belakangku. Kulihat beliau ditemani
seorang polisi. “Itu kata-katanya Hammering Hank, bukan?” tanya Kakek ke
Ahmad.
“Ya, Sir. Aaron ‘Hammering’ Hank. 755 homerun, melewati rekor-nya Babe Ruth,” jawab Ahmad.
“Kau suka Baseball?” tanya Kakek, dan kulihat senyum lebarnya.
“Cukup suka untuk tahu kalau cucu Anda bakal jadi pitcher terhebat sepanjang masa, Sir. Mungkin bakal melebihi Walter Johnson.”
“Bukannya pitcher terbaik itu Roger Clemens?” sanggah Kakek.
“Well
itu baseball modern, Sir, tapi saya bicara sepanjang usia baseball.
Walter Johnson itu pemain Washington Senators di 1910-an, Sir. Well,
usia Major League Baseball hampir satu setengah abad, dan sudah dua
ratus pemain yang masuk hall of fame; meski memang bisa diperdebatkan,
fans baseball cukup kenal siapa saja pemain terbaik.”
Kulihat
Kakek tertawa, yang cukup jarang aku lihat. Lalu beliau bertanya kepada
polisi yang menemaninya apakah kami boleh pulang. Petugas polisi itu
memperbolehkan, hanya saja kami mesti menjawab pertanyaan wartawan di
Jumpa Pers di depan kantor polisi terlebih dahulu.
Aku beranjak ketika Kakek memberi isyarat untuk mengikutinya.
“Ajak temanmu,” kata Kakek.
“Maaf, Sir,” timpal Ahamd, “Perlu Anda tahu saya Muslim, Sir.”
“Moslem?”
kata Kakek, “Kamu pikir aku peduli? Walaupun kamu Osama Bin Laden,
kalau dia bisa bicara baseball seperti kamu—the hell, aku akan
mengundangnya makan malam! Ayo!”
Selanjutnya
yang aku tahu, bocah Arab ini sudah menjadi teman Kakek. Melihat
mereka, aku jadi penasaran bagaimana reaksi Zack kalau melihat ini.
***
Sampai di rumah, aku langsung masuk kamar. Awalnya aku hendak langsung berbaring, tapi urung ketika melihat jendela terbuka.
Apa Zack di atas? pikirku. Aku dekati jendela. Lalu, aku dengar sayup-sayup suara tangis. A—apa Zack menangis?
Aku panjat jendela menuju atap. Aku melihat Zack, dan aku lihat punggungnya berguncang menahan tangis.
“Zack? Kenapa? Ada masalah?” tanyaku.
“Nothing!” tukas Zack cepat seraya membenahi dirinya.
“Kau menangis?” Aku mendekatinya.
“Tidak!”
Kulihat dia memegang sebuah buku—Quran pemberian Ahmad tempo hari!
“Kau membacanya?” tanyaku.
“Tidak…,” sanggahnya dan kali ini terdengar lirih. “Buku ini… buku ini yang membaca aku….”
Keningku mengerenyit heran. Kulihat dia merunduk, menatap buku itu.
Tiba-tiba
kulihat sorot matanya berubah dan berpaling kepadaku. “Kau tahu?
Menurut buku ini, ketika Tuhan menciptakan manusia para malaikat
bertanya ‘Kenapa? Kenapa Engkau hendak membuat manusia? ’ A—aku belum
pernah melihat yang seperti ini sebelumnya! Sejauh yang aku tahu,
malaikat itu mahluk suci yang menuruti perintah Tuhan, ya, kan? Tapi
ini! Seolah…seolah malaikat mempertanyakan keputusan Tuhan. ‘What’s
wrong with you, Lord? Engkau hendak ciptakan sesuatu yang akan merusak
dan menumpahkan darah, sementara kami mengagungkanMu?’ Kau lihat bahasa
yang digunakan di sini? ‘Merusak dan menumpahkan darah’ berseberangan
dengan ‘mengagungkan Tuhan’. Tapi, buku ini diklaim mereka yang membom,
membunuh, atas nama Tuhan! Paradoks, bukan?”
Terus
terang aku terperangah! Aku tidak menyangka di balik badan besar Zack
ada otak yang…yang perseptif. Aku sendiri tidak memikirkannya sampai
sedalam itu.
Lalu
kulihat Zack menarik nafas sejenak. “Lalu Tuhan menjawab, ‘Aku tahu apa
yang tidak kau ketahui.’ Awalnya aku pikir itu jawaban yang obnoxious,
tapi kalau dipikir-pikir.... Terus terang, Bill, apa yang kita tahu
sebenarnya? The hell! We don’t know sh*t! Apa yang kita tahu datangnya
dari orang lain; dari guru kita, media, orang tua….”
Kulihat
Zack merunduk sebelum melanjutkan. “Aku… aku tahu ayah-ibuku
membuangku, tapi kenapa? Apa ada alasan yang aku tidak ketahui? Yang
bisa aku terima? Mengapa repot-repot aku dilahirkan? Apa aku tidak tahu
apa yang Tuhan tahu? Oh, GOD! Aku ingin tahu! Aku ingin tahu….” Kalimat
Zack berakhir dengan satu isakan tangis.
Aku
termenung sejenak, sebelum mengutarakan sebuah saran, “Kenapa kau tidak
bertanya saja sama Ahmad? Maksudku dia Muslim, pastinya dia tahu banyak
tentang buku itu.”
“Yeah,
right!” dengus Zack, “Apa kau yakin aku akan mendapat jawaban yang
sebenarnya? Selama ini kita mem-bully dia! He hate us for sure!”
Aku tersenyum, “You sure? What do we really KNOW exactly?”
Zack menatapku.
selesai------------
gimana ? keren kan ? :')