Sunday, July 21, 2013

Morbus Hansen (MH)

DEFINISI Definisi Lepra (penyakit Hansen) adalah infeksi menahun yang terutama ditandai oleh adanya kerusakan saraf perifer (saraf diluar otak dan medulla spinalis), kulit, selaput lendir hidung, buah zakar (testis) dan mata)

ETIOLOGIMikobakterium leprae merupakan basil tahan asam (BTA) bersifat obligat intraseluler, menyerang saraf perifer, kulit dan organ lain seperti mukosa saluran nafas bagian atas, hati, sumsum tulang kecuali susunan saraf pusat. Masa membelah diri mikobakterium leprae 12-21 hari dan masa tunasnya antara 40 hari-40 tahun. Kuman kusta berbentuk batang dengan ukuran panjang 1-8 micro, lebar 0,2-0,5 micro biasanya berkelompok dan ada yang disebar satu-satu, hidup dalam sel dan BTA
EPIDEMIOLOGIDistribusi Menurut Geografi  dapat dilihat bahwa sebagian besar kasus lepra terjadi pada wilayah dengan iklim tropis. Berdasarkan data yang diperoleh dari WHO pada akhir tahun 2006 didapatkan jumlah pasien kusta yang teregistrasi sebanyak 224.727 penderita. Dari data tersebut didapatkan jumlah pasien terbanyak dari benua Asia dengan jumlah pasien yang terdaftar sebanyak 116.663 dan dari data didapatkan India merupakan negara dengan jumlah penduduk terkena kusta terbanyak dengan jumlah 82.901 penderita. Namun Micronesia F. S merupakan negara dengan jumlah rata-rata prevalensi per 10.000 penduduk terbanyak di dunia, yaitu dengan 9,64 per 10.000 jumlah penduduk. Sementara Indonesia pada 2006 tercatat memiliki jumlah penderita sebanyak 22.175 (WHO).
Distribusi Menurut Faktor Manusia a. Etnik atau Suku Kejadian penyakit kusta menunjukkan adanya perbedaan distribusi dapat dilihat karena faktor geografi. Di Indonesia etnik Madura dan Bugis lebih banyak menderita kusta dibandingkan etnik Jawa atau Melayu (Depkes RI, 8:2006).
FAKTOR RESIKOSekitar 50% penderita kemungkinan tertular karena berhubungan dekat dengan seseorang yang terinfeksi.Infeksi juga mungkin ditularkan melalui tanah, armadillo, kutu busuk dan nyamuk. Sekitar 95% orang yang terpapar oleh bakteri lepra tidak menderita lepra karena sistem. Kekebalannya berhasil melawan infeksi. Infeksi dapat terjadi pada semua umur, paling sering mulai dari usia 20an dan 30an. bentuk lepromatosa 2 kali lebih sering ditemukan pada pria
PATOGENESISSaat M.leprae masuk ke dalam tubuh manusia maka kuman ini akan bereaksi dengan sistem imun sehingga terjadi proses fagositosis dari makrofag dll, setelah sistem imun di kalahkan maka M.leprae akan masuk ke dalam monosit dan berkembang biak di dalam monosit sehingga tidak terdeteksi oleh sistem imun. Setelah monosit pecah dan mati maka M.leprae akan keluar dan masuk ke dalam sel schwan pada perineural dari saraf perifer yang merupakan tempat predileksi hidup M.leprae sehingga terjadi non profesional fagositosis, dimana tidak dapat mengekspresikan mol MHC kls II. Sel schwan yang telah terinfeksi karena tidak punya ml MHC kls II maka tidak bisa berkomunikasi dengan sel T sehingga tidak terdeteksi oleh sistem imun. Setelah sel schwan mati maka M.lepra akan keluar dan di tangkap oleh makrofag yang profesional. M.leprae yang berada dalam makrofag akan di bawah ke seluruh organ dengan bantuan CD4, IL, dan T cell karena sudah tidak mengenal M.leprae.
Masuknya M.Leprae ke dalam tubuh akan ditangkap oleh APC (Antigen Presenting Cell) dan melalui dua signal yaitu signal pertama dan signal kedua. Signal pertama adalah tergantung pada TCR- terkait antigen (TCR = T cell receptor) yang dipresentasikan oleh molekul MHC pada permukaan APC sedangkan signal kedua adalah produksi sitokin dan ekspresinya pada permukaan dari molekul kostimulator APC yang berinteraksi dengan ligan sel T melalui CD28. Adanya kedua signal ini akan mengaktivasi To sehingga To akan berdifferensiasi menjadi Th1 dan Th2. Adanya TNF α dan IL 12 akan membantu differensiasi To menjadi Th1 (Wahyuni, 6:2009).
Th 1 akan menghasilkan IL 2 dan IFN γ yang akan meningkatkan fagositosis makrofag( fenolat glikolipid I yang merupakan lemak dari M.leprae akan berikatan dengan C3 melalui reseptor CR1,CR3,CR4 pada permukaannya lalu akan difagositosis) dan proliferasi sel B. Selain itu, IL 2 juga akan mengaktifkan CTL lalu CD8+.Di dalam fagosit, fenolat glikolipid I akan melindungi bakteri dari penghancuran oksidatif oleh anion superoksida dan radikal hidroksil yang dapat menghancurkan secara kimiawi. Karena gagal membunuh antigen maka sitokin dan growth factors akan terus dihasilkan dan akan merusak jaringan akibatnya makrofag akan terus diaktifkan dan lama kelamaan sitoplasma dan organella dari makrofag akan membesar, sekarang makrofag seudah disebut dengan sel epiteloid dan penyatuan sel epitelioid ini akan membentuk granuloma (Wahyuni, 6-7:2009).
Th2 akan menghasilkan IL 4, IL 10, IL 5, IL 13. IL 5 akan mengaktifasi dari eosinofil. IL 4 dan IL 10 akan mengaktifasi dari makrofag. IL 4 akan mengaktifasi sel B untuk menghasilkan IgG4 dan IgE. IL 4 , IL10, dan IL 13 akan mengaktifasi sel mast (Wahyuni, 7:2009). Signal I tanpa adanya signal II akan menginduksi adanya sel T anergi dan tidak teraktivasinya APC secara lengkap akan menyebabkan respon ke arah Th2. Pada Tuberkoloid Leprosy, kita akan melihat bahwa Th 1 akan lebih tinggi dibandingkan denganTh2 sedangkan pada Lepromatous leprosy, Th2 akan lebih tinggi dibandingkan dengan Th1(Wahyuni, 7:2009). APC pada kulit adalah sel dendritik dimana sel ini berasal dari sum – sum tulang dan melalui darah didistribusikan ke jaringan non limfoid. Sel dendritik merupakan APC yang paling efektif karena letaknya yang strategis yaitu di tempat – tempat mikroba dan antigen asing masuk tubuh serta organ – organ yang mungkin dikolonisasi mikroba. Sel denritik dalam hal untuk bekerja harus terlebih dulu diaktifkan dari IDC menjadi DC. Idc akan diaktifkan oleh adanya peptida dari MHC pada permukaan sel, selain itu dengan adanya molekul kostimulator CD86/B72, CD80/B7.1, CD38 dan CD40. Setelah DC matang, DC akan pindah dari jaringan yang inflamasi ke sirkulasi limfatik karena adanya ekspresi dari CCR7 ( reseptor kemokin satu – satunya yang diekspresikan oleh DC matang). M. Leprae mengaktivasi DC melalui TLR 2 – TLR 1 heterodimer dan diasumsikan melalui triacylated lipoprotein seperti 19 kda lipoprotein. TLR 2 polimorfisme dikaitkan dengan meningkatnya kerentanan terhadap leprosy (Wahyuni, 8:2009).
Patogenesis Kerusakan Saraf pada Pasien Kusta M.Leprae memiliki bagian G domain of extracellular matriks protein laminin 2 yang akan berikatan dengansel schwaan melalui reseptor dystroglikan lalu akan mengaktifkan MHC kelas II setelah itu mengaktifkan CD4+. CD4+ akan mengaktifkan Th1 dan Th2 dimana Th1 dan Th2 akan mengaktifkan makrofag. Makrofag gagal memakan M. Leprae akibat adanya fenolat glikolipid I yang melindunginya di dalam makrofag. Ketidakmampuan makrofag akan merangsang dia bekerja terus – menerus untuk menghasilkan sitokin dan GF yang lebih banyak lagi. Sitokin dan GF tidak mengenelai bagian self atau nonself sehingga akan merusak saraf dan saraf yang rusak akan diganti dengan jaringan fibrous sehingga terjadilah penebalan saraf tepi. Sel schwann merupakan APC non professional (Wahyuni, 8:2009).
Patogenesis reaksi Kusta Reaksi kusta adalah suatu episode akut dalam perjalan kronis penyakit kusta yang dianggap sebagai suatu kelaziman atau bagian dari komplikasi penyakit kusta. Ada dua tipe reaksi dari kusta yaitu reaksi kusta tipe I dan reaksi kusta tipe II. Reaksi kusta tipe I sering disebut reaksi lepra non nodular merupakan reaksi hipersensitifitas tipe IV ( Delayed Type Hipersensitivity Reaction ). Reaksi tipe I sering kita jumpai pada BT dan BL. M. Leprae akan berinteraksi dengan limfosit T dan akan mengakibatkan perubahan sistem imunitas selluler yang cepat. Hasil dari reaksi ini ada dua yaitu upgrading reaction / reversal reaction , dimana terjadi pergeseran ke arah tuberkoloid ( peningkatan sistem imunitas selluler) dan biasanya terjadi pada respon terhadap terapi, dan downgrading, dimana terjadi pergeseran ke arah lepromatous ( penurunan sistem imunitas selluler) dan biasanya terjadi pada awal terapi (Wahyuni, 8:2009). Reaksi kusta tipe II adalah hipersensitivitas humoraltepatnya hipersensitivitas tipe III. Reaksi tipe dua sering juga disebut eritema nodosum lepromatous. Reaksi ini sering terjadi pada pasien LL. M. Lepraeakan berinteraksi dengan antibodi membentuk kompleks imun dan mengendap pada pembuluh darah. Komplemen akan berikatan pada komples imun dan merangsang netrofil untuk menghasilkan enzim lisosom. Enzim lisosom akan melisis sel (Wahyuni, 8:2009)
GEJALA KLINISKusta bentuk kering (tipe tuberkuloid) Merupakan bentuk yang tidak menular Kelainan kulit berupa bercak keputihan sebesar uang logam atau lebih, jumlahnya biasanya hanya beberapa, sering di pipi, punggung, pantat, paha atau lengan. Bercak tampak kering, perasaan kulit hilang sama sekali, kadang-kadang tepinya meninggi Pada tipe ini lebih sering didapatkan kelainan urat saraf tepi pada, sering gejala kulit tak begitu menonjol tetapi gangguan saraf lebih jelas Komplikasi saraf serta kecacatan relatif lebih sering terjadi dan timbul lebih awal dari pada bentuk basah Pemeriksaan bakteriologis sering kali negatif, berarti tidak ditemukan adanya kuman penyebab Bentuk ini merupakan yang paling banyak didapatkan di indonesia dan terjadi pada orang yang daya tahan tubuhnya terhadap kuman kusta cukup tinggi.

Kusta bentuk basah (tipe lepromatosa) Merupakan bentuk menular karena banyak kuman dapat ditemukan baik di selaput lendir hidung, kulit maupun organ tubuh lain Jumlahnya lebih sedikit dibandingkan kusta bentuk kering dan terjadi pada orang yang daya tahan tubuhnya rendah dalam menghadapi kuman kusta Kelainan kulit bisa berupa bercak kamarahan, bisa kecilkecil dan tersebar diseluruh badan ataupun sebagai penebalan kulit yang luas (infiltrat) yang tampak mengkilap dan berminyak. Bila juga sebagai benjolanbenjolan merah sebesar biji jagung yang sebesar di badan, muka dan daun telinga Sering disertai rontoknya alis mata, menebalnya cuping telinga dan kadang-kadang terjadi hidung pelana karena rusaknya tulang rawan hidung Kecacatan pada bentuk ini umumnya terjadi pada fase lanjut dari perjalanan penyakit Pada bentuk yang parah bisa terjadi ”muka singa” (facies leonina)
Diantara kedua bentuk klinis ini, didapatkan bentuk pertengahan atau perbatasan (tipe borderline) yang gejala-gejalanya merupakan peralihan antara keduanya. Bentuk ini dalam pengobatannya dimasukkan jenis kusta basah.
Klasifikasi
1.      Tujuan :
Untuk menentukan regimen pengobatan.
Untuk perencanaan opersional.
2.      Klasifikasi Pengobatan MDT.
Untuk keperluan pengobatan kombinasi atau Multidrug Therapy (MDT) yaitu menggunakan gabungan Rifampicin, Lamprene dan DDS, maka penyakit kusta di Indonesia diklasifikasikan menjadi 2 tipe yaitu :
a.       Tipe PB (Pausi basiler).
b.      Tipe MB (Multi basiler).
Sebelumnya telah dikenal beberapa klasifikasi seperti :
a.       Klasifikasi Madrid.
b.      Klasifikasi Ridley Joping.
c.       Klasifikasi India, namun klasifikasi ini tidak dipergunakan dalam P2 Kusta di lapangan.
Kriteria penentuan tipe
Berdasarkan Ridley-Joping
Gambaran klinik, bakteriologik, dan imunologik kusta Pausibasiler (PB)
SIFAT
TUBERKULOID (TT)
BORDERLINE TUBERCULOID (BT)
INTERMEDIATE (I)
Lesi
Bentuk
Makula saja
Makula dibatasi infiltrate
Makula dibatasi infiltrat
Infiltrat saja
Hanya macula
Jumlah
Satu, dapat beberapa
Beberapa atau satu dengan satelit
Satu atau beberapa
Distribusi
Asimetris
Masih asimetris
Variasi
Permukaan
Kering bersisik
Kering bersisik
Halus agak berkilat
Batas
Jelas
Jelas
Dapat jelas atau dapat tidak jelas
Anestesia
Jelas
Jelas
Tak ada sampai tidak jelas
BTA
Lesi Kulit
Negatif
Negative atau hanya positif 1
Biasanya negative
Tes lepromin
Posiitif kuat (3+)
Positif lemah
Dapat positif lemah atau negative

Gambaran klinik, bakteriologik, dan imunologik kusta Multibasiler (MB)
SIFAT
 LEPROMATOSA (LL)
BORDERLINE LEPROMATOUS (BL)
MID BORDERLINE (BB)
Lesi
Bentuk
Makula, infiltrat  difus
Makula, Plakat, Papul
Plak, lesi berbentuk
Jumlah
Tak terhitung
Sukar dihitung
Dapat dihitung
Distribusi
Simetris
Hampir simetris
Asimetris
Permukaan
Halus berkilat
Halus berkilat
Agak kasar dan berkilat
Batas
Tak jelas
Agak jelas
Agak jelas
Anestesia
Tidak jelas
Tidak jelas
Lebih jelas
BTA
Lesi Kulit
Banyak (ada globus)
Banyak
Agak banyak
Sekret Hidung
Banyak (ada globus)
Biasanya negative
Negative
Tes lepromin
Negatif
Negatif
Biasanya negative

Klasifikasi berdasarkan WHO (1995):
                                                                PB                                             MB
1.      Lesi kulit (makula datar, papul yang meninggi, nodus)
·         1-5 lesi
·         Hipopigementasi/eritema
·         Distribusi tidak simetris
·         > 5 lesi
·         Eritema
·         Distribusi lenih simetris
2.      Kerusakan saraf (menyebabkan hilangnya sensasi/ kelemahan otot yang dipersarafi oleh saraf yag terkena)
·           Hanya satu cabang saraf
Banyak cabang saraf

Pemeriksaan Klinis
Pelaksanaan pemeriksaan terdiri dari :
a.       Pemeriksaan pandang (inspeksi),
b.      Pemeriksaan rasa raba pada kelainan kulit, dan
c.       Pemeriksaan syaraf tepi dan fungsinya.
a.       Pemeriksaan Pandang (Inspeksi).
Tahap pemeriksaan.
1.      Pemeriksaan dimulai dengan orang yang diperiksa behadapan dengan petugas dan dimulai kepala (muka, cuping telinga kiri, pipi-kiri, cuping telinga kakan, pipi kanan, hidung, mulut, dagu, leher bagian depan). Penderita diminta untuk memejamkan mata, mengetahui fungsi syaraf dibuka. Semua kelainan kulit diperhatikan.
2.      Pundak kanan, lengan bagian belakang, tangan, jari-jari tangan (penderita diminta meluruskan tangan kedepan dengan telapak tangan menghadap kebawah, kemudian tangan diputar dengan telapak tangan menghadap keatas), telapak tangan, lengan bagian dalam, ketiak, dada dan perut ke pundak kiri, lengan kiri dan seterusnya (putarlah penderita pelan-pelan dari sisi yang satu ke sisi yang lainnya untuk melihat sampingnya pada waktu memeriksa dada dan perut).
3.      Tungkai kanan bagian luar dari atas ke bawah, bagian dalam dari bawah ke atas, tungkai kiri dengan cara yang dalam dari bawah ke atas, tungkai kiri dengan cara yang sama.
4.      Yang diperiksa kini diputar sehingga membelakangi petugas dan pemeriksaan dimulai lagi dari : Bagian belakang telinga, bagian belakang leher,punggung, pantat tungkai bagian belakang dan telapak kaki. Perhatikan setiap bercak (makula), bintil-bintil (nodulus) jaringan parut, kulit yang keriput, dan setiap penebalan kulit. Bilamana meragukan, putarlah penderita pelanpelan dan periksa pada jarak kira-kira ½ meter.
b.      Pemeriksaan Rasa Raba pada Kelainan Kulit.
Pemeriksaan terhadap anestesi.
Sepotong kapas yang dilancipkan dipakai untuk memeriksa rasa raba. Periksalah dengan ujung dari kapas yang dilancipi secara tegak lurus pada kelainan kulit yang dicurigai. Yang diperiksa sebaiknya duduk pada waktu pemeriksaan. Terlebih dahulu petugas menerangkan bahwa bilamana merasa tersentuh bagian tubuhnya dengan kapas, ia harus menunjukkan kulit yang disentuh dengan jari telunjuknya atau dengan menghitung sentuhan untuk bagian yang sulit dijangkau, ini dikerjakan dengan mata terbuka. Bilamana hal ini telah jelas, maka ia diminta menutup matanya, kalau perlu matanya ditutup dengan sepotong kain/karton. Kelainan-kelainan di kulit diperiksa secara
bergantian dengan kulit yang normal disekitarnya untuk mengetahui ada tidaknya anaesthesi.
c.       Pemerksaan rasa raba syaraf tepi.
Raba dengan teliti urut syaraf tepi berikut n.auricularis magnus, n.ularis, n.radialis, n.medianus,n.peroneus, dan n.tibialis posterior.

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Bakteriologis Ketentuan pengambilan sediaan adalah sebagai berikut: Sediaan diambil dari kelainan kulit yang paling aktif. Kulit muka sebaiknya dihindari karena alasan kosmetik kecuali tidak ditemukan lesi ditempat lain. Pemeriksaan ulangan dilakukan pada lesi kulit yang sama dan bila perlu ditambah dengan lesi kulit yang baru timbul. Lokasi pengambilan sediaan apus untuk pemeriksaan mikobakterium leprae ialah: Cuping telinga kiri atau kanan Dua sampai empat lesi kulit yang aktif ditempat lain Sediaan dari selaput lendir hidung sebaiknya dihindari karena: Tidak menyenangkan pasien Positif palsu karena ada mikobakterium lain Tidak pernah ditemukan mikobakterium leprae pada selaput lendir hidung apabila sedian apus kulit negatif. Pada pengobatan, pemeriksaan bakterioskopis selaput lendir hidung lebih dulu negatif dari pada sediaan kulit ditempat lain. Indikasi pengambilan sediaan apus kulit: Semua orang yang dicurigai menderita kusta Semua pasien baru yang didiagnosis secara klinis sebagai pasien kusta Semua pasien kusta yang diduga kambuh (relaps) atau karena tersangka kuman resisten terhadap obat Semua pasien MB setiap 1 tahun sekali Pemerikaan bakteriologis dilakukan dengan pewarnaan tahan asam, yaitu ziehl neelsen atau kinyoun gabett Cara menghitung BTA dalam lapangan mikroskop ada 3 metode yaitu cara zig zag, huruf z, dan setengah atau seperempat ditemukan lingkaran. adalah Bentuk kuman yang mungkin bentuk utuh (solid), pecah-pecah (fragmented), granula (granulates), globus dan clumps. Indeks Bakteri (IB): Merupakan ukuran semikuantitatif kepadatan BTA dalam sediaan hapus. IB digunakan untuk menentukan tipe kusta dan mengevaluasi hasil pengobatan. Penilaian dilakukan menurut skala logaritma RIDLEY sebagai berikut: bila tidak ada BTA dalam 100 lapangan pandang bila 1-10 BTA dalam 100 lapangan pandang bila 1-10 BTA dalam 10 lapangan pandang bila 1-10 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang bila 11-100 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang bila 101-1000 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang :bila >1000 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang Morfologi (IM) Merupakan persentase BTA bentuk utuh terhadap seluruh BTA. IM digunakan untuk mengetahui daya penularan kuman, mengevaluasi hasil pengobatan, dan membantu menentukan resistensi terhadap obat.


PENCEGAHAN
Dulu perubahan bentuk anggota tubuh akibat lepra menyebabkan penderitanya diasingkan dan diisolasi. Pengobatan dini bisa mencegah atau memperbaiki kelainan bentuk, tetapi penderita cenderung mengalami masalah psikis dan sosial. Tidak perlu dilakukan isolasi.

Lepra hanya menular jika terdapat dalam bentuk lepromatosa yang tidak diobati dan itupun tidak mudah ditularkan kepada orang lain. selain itu, sebagian besar secara alami memiliki kekebalan terhadap lepra dan hanya orang yang tinggal serumah dalam jangka waktu yang lama yang memiliki resiko tertular. Dokter dan perawat yang mengobati penderita lepra tampaknya tidak memiliki resiko tertular.

PENATALAKSANAAN
Tujuan utama program pemberantasan kusta adalah penyembuhan pasien kusta dan mencegah timbulnya cacat serta memutuskan mata rantai penularan dari pasien kusta terutama tipe yang menular kepada orang lain untuk menurunkan insiden penyakit. Program Multi Drug Therapy (MDT) dengan kombinasi rifampisin, klofazimin, dan DDS dimulai tahun 1981. Program ini bertujuan untuk mengatasi resistensi dapson yang semakin meningkat, mengurangi ketidaktaatan pasien, menurunkan angka putus obat, dan mengeliminasi persistensi kuman kusta dalam jaringan. Rejimen pengobatan MDT di Indonesia sesuai rekomendasi WHO 1995 sebagai berikut:
1.      Tipe PB ( PAUSE BASILER) Jenis obat dan dosis untuk orang dewasa : Rifampisin 600mg/bln diminum didepan petugas DDS tablet 100 mg/hari diminum di rumah Pengobatan 6 dosis diselesaikan dalam 6-9 bulan dan setelah selesai minum 6 dosis dinyatakan RFT meskipun secara klinis lesinya masih aktif. Menurut WHO(1995) tidak lagi dinyatakan RFT tetapi menggunakan istilah Completion Of Treatment Cure dan pasien tidak lagi dalam pengawasan.

2.      Tipe MB ( MULTI BASILER) Jenis obat dan dosis untuk orang dewasa: Rifampisin 600mg/bln diminum didepan petugas Klofazimin rumah DDS 100 mg/hari diminum dirumah Pengobatan 24 dosis diselesaikan dalam waktu maksimal 36 bulan sesudah selesai minum 24 dosis dinyatakan RFT meskipun secara klinis lesinya masih aktif dan pemeriksaan bakteri positif. Menurut WHO (1998) 300mg/bln diminum didepan petugas dilanjutkan dengan klofazimin 50 mg /hari diminum di pengobatan MB diberikan untuk 12 dosis yang diselesaikan dalam 12-18 bulan dan pasien langsung dinyatakan RFT. Dosis untuk anak Klofazimin: Umur dibawah 10 tahun : Bulanan 100mg/bln Harian 50mg/2kali/minggu Umur 11-14 tahun Bulanan 100mg/bln Harian 50mg/3kali/minggu DDS:1-2mg /Kg BB Rifampisin:10-15mg/Kg BB Pengobatan MDT terbaru Metode ROM adalah pengobatan MDT terbaru.

Menurut WHO(1998), pasien kusta tipe PB dengan lesi hanya 1 cukup diberikan dosis tunggal rifampisin 600 mg, ofloksasim 400mg dan minosiklin 100 mg dan pasien langsung dinyatakan RFT, sedangkan untuk tipe PB dengan 2-5 lesi diberikan 6 dosis dalam 6 bulan.

Untuk tipe MB diberikan sebagai obat alternatif dan dianjurkan digunakan sebanyak 24 dosis dalam 24 jam. Putus obat Pada pasien kusta tipe PB yang tidak minum obat sebanyak 4 dosis dari yang seharusnya maka dinyatakan DO, sedangkan pasien kusta tipe MB dinyatakan DO bila tidak minum obat 12 dosis dari yang seharusnya.

PROGNOSIS
Pada umumnya baik, hanya jika pasien mampu mengikuti program secara teratur

No comments:

Post a Comment