Saturday, December 14, 2013

KEPUTIHAN DALAM PERSPEKTIF ISLAM

Keputihan dalam bahasa fiqih termasuk kategori Wady (Al Wadii), yaitu cairan kental berwarna putih, biasanya keluar setelah kencing. Para ulama sepakat bahwa keputihan adalah najis. Hal ini berdasarkan hadits dari Aisyah Rodhiyallaahu'anha: "Sesungguhnya keputihan itu (Al Wadii) yang keluar setelah kencing, maka cucilah kemaluannya, berwudhu dan tidak perlu mandi."(HR. Ibnu Al Mundzir)

Dari Ibnu Abbas Rodhiyallaahu'anhuma: "Mani, Wadi dan Madzi. Jika (keluar) Mani, maka mandilah. Adapun bila (keluar) Madzi atau Wadi, maka cukup dengan berwudhu."(HR. Al Atsram dan Imam baihaqi)
Dalam hadits yang diriwayatkan Imam Baihaqi disebutkan: "Adapun bila (keluar) Wadi atau Madzi, maka cucilah kemaluannya dan berwudhu seperti wudhunya sholat."
Dari dua hadits ini menjelaskan kepada kita bahwa seseorang yang keluar Mani, saat hendak melaksanakan sholat mesti mandi janabah. Adapun sesorang yang keluar Madzi atau Wadi, maka cukup dengan berwudhu dan tidak perlu mandi janabah.
Pertanyaan selanjutnya, bila keputihan tersebut mengenai pakaian maka sebagaimana hadits Asma binti Abu Bakar Rodhiyallaahu'anhuma, ia berkata: "Telah datang seorang wanita kepada Rosuulullaahi Shollallaahu A`laihi Wasallam, lantas wanita tersebut bertanya: Salah seorang diantara kami bajunya terkena darah haidh, apa yang mesti kami perbuat? Rasul menjawab: Gosoklah (noda itu) dengan jari tangan, basuhlah dengan air, setelah itu ia telah boleh memakainya (kembali) untuk sholat.(HR. Bukhori/ I / hal. 66 dan Muslim / I / hal. 240 / no. 110)
Menurut hadits diatas bahwa cara membersihkan najis yang mengenai pakaian adalah dengan mencucinya. Hal ini juga sejalan dengan firman Allaah Subhaanahu Wa Ta`ala: "Dan pakaianmu bersihkanlah."(Surah Al Mudatsir: 4)
Menurut Imam Syafi'i, bahwa ada dua kategori sesuatu itu disebut najis. Pertama, bila sesuatu itu keluar dari dalam vagina, maka ia najis. Seperti, darah haidh, istihadhoh, air kencing dan keputihan. Kedua, bila sesuatu itu di luar vagina, maka yang demikian itu tidak termasuk najis.
Mengenai seorang wanita yang terus-terusan mengalami keputihan, menurut Imam Abu hanifah ada keringanan (rukhshah), yaitu pakaian yang terkena keputihan tidak perlu di cuci. Hal ini disamakan dengan wanita yang mengalami Istihadhoh, namun tetap; baik yang keputihan ataupun Istihadhoh mesti berwudhu setiap hendak melaksanakan sholat.
Berikut definisi dari keempat cairan di atas, yang dari definisi tersebut bisa dipetik sisi perbedaandi antara mereka:
1.      Kencing: Masyhur sehingga tidak perlu dijelaskan, dan dia najis berdasarkan Al-Qur`an, Sunnah, dan ijma’
2.      Wadi: Cairan tebal berwarna putih yang keluar setelah kencing atau setelah melakukan pekerjaan yang melelahkan, misalnya berolahraga berat. Wadi adalah najis berdasarkan kesepakatan para ulama sehingga dia wajib untuk dicuci. Dia juga merupakan pembatal wudhu sebagaimana kencing dan madzi.
3.      . Madzi: Cairan tipis dan lengket, yang keluar ketika munculnya syahwat, baik ketika bermesraan dengan wanita, saat pendahuluan sebelum jima’, atau melihat dan mengkhayal sesuatu yang mengarah kepada jima’. Keluarnya tidak terpancar dan tubuh tidak menjadi lelah setelah mengeluarkannya. Terkadang keluarnya tidak terasa. Dia juga najis berdasarkan kesepakatan para ulama berdasarkan hadits Ali yang akan datang dimana beliau memerintahkan untuk mencucinya.
4.      Mani: Cairan tebal yang baunya seperti adonan tepung, keluar dengan terpancar sehingga terasa keluarnya, keluar ketika jima’ atau ihtilam (mimpi jima’) atau onani (wal ‘iyadzu billah), dan tubuh akan terasa lelah setelah mengeluarkannya.”
Pendapat lain : Tapi, Syaikh Muhammad al-Utsaimin menambahkan, untuk wanita yang selalu keluar cairan keputihan ini, bahkan di dalam shalat sekalipun, maka hukumnya tidak merusak wudhunya dan shalatnya tetap sah. Artinya, jika wanita tersebut sudah berwudhu dan shalat, lalu keluar cairan keputihan dalam keadaan shalat, maka shalatnya tetap sah. Argumentasi beliau adalah menyamakan kedudukannya dengan orang yang menderita penyakit beser ( selalu keluar cairan kencing dari kelaminnya dan seringkali tanpa ia sadari ). Kondisi seperti ini tak membuat shalat orang tersebut batal.
Kesimpulannya, menurut Syaikh Utsaimin adalah, jika hanya keluar sesekali saja, itu harus dibersihkan dan membatalkan wudhu dan shalat. Namun, jika cairan itu sangat sering keluar, maka hal itu tidak membatalkan shalat karena sudah berada di luar kemampuan dia.
Pendapat yang lebih kuat dikemukakan oleh Syaikh Mushthafa al-Adawy dalam Jami’ Ahkam an-Nisa’ ( hlm. 67-68 ). Beliau berpendapat, cairan keputihan tersebut tidak termasuk najis. Alasannya, pertama : tidak ditemukannya dalil yang menajiskan cairan tersebut. Kedua, keterangan bahwa setiap yang keluar dari dua jalan ( dubur dan kelamin ) adalah najis hanyalah kesimpulan para ulama. Tak ada keterangan dari al-Quran dan Sunnah yang tegas menyebutkan bahwa setiap yang keluar dari dua jalan itu najis. Ketiga, cairan jenis tersebut keluar dari saluran rahim dan bukan keluar dari saluran kencing yang sifatnya najis. Keempat, menganalogikan keputihan dengan darah istihadhah. Darah istihadhah hukumnya tidak membatalkan shalat. Wanita hanya diharuskan untuk berwudhu setiap kali hendak shalat atau mandi dengan menjama’ shalatnya. Jika darah istihadhah saja yang juga merupakan penyakit tidak membatalkan shalat, demikian pula halnya dengan darah keputihan
Sumber: Fiqih Sunah, Sayid Sabiq, Jilid I, hal. 23-26 Al Fiqhu Al Islami wa Adilatuhu, Dr. Wahbah Zuhaily, jilid I, hal. 366-370

1 comment:

  1. Terima kasih untuk berbagi informasi dengan kami , Setelah membaca artikel Anda saya menjadi sangat tertarik dengan blog yang Anda kelola

    ReplyDelete