Monday, September 2, 2013

Playball!

Aku selalu menunggu cerpen-cerpen karya Donny, selalu inspiratif dan bikin terharu. Untuk itu aku berbagi cerpen ini, agar kalian juga merasakan hal yang sama denganku. hehe. cekidooottt.....


Percayalah pada Yankees, Anakku.
--Ernest Hemmingway dalam “Oldman and The Sea”

America’s tragedy.
--George Bernard Shaw, yang beliau tujukan pada olah raga Baseball


“Playball!”
Begitulah Ahmad memekik dan aku tahu itu adalah signal bagiku untuk melempar bola. Tapi, kami tidak sedang bermain baseball! Kami sedang bertaruh antara hidup dan mati! Jelas kami tidak berada di lapangan!
Ironisnya, pekikan Ahmad itu mengingatkan aku pada suatu pagi di mana  Zack, sepupuku, memekikkan kata yang sama saat melompat keluar di tikungan dan mengayunkan tongkat baseball-nya kepada Ahmad. Tongkat itu akan mendarat di dadanya kalau saja bocah Arab itu tidak sempat menghadang dengan kedua lengannya. Tapi memang tak ayal dia terdorong mundur juga dan terjungkal! Setelah dia terjungkal seperti itu, ritual biasa pun berlangsung; kami menendanginya ramai-ramai.
“Pulang ke kampungmu, Teroris! Kau tidak layak di sini!” pekik Zack saat kami berhenti menendangi bocah Arab itu. Zack meludah, dan aku yakin dia sebenarnya hendak meludahi muka Ahmad, tapi meleset.
Melihat itu aku sempat mendengus. Zack memang punya tangan kuat yang akan selalu mencetak home-run, jika dia berhasil memukul bola—aku tekankan, JIKA dia berhasil memukul bola. Dia memang kuat tapi tidak punya senses of accuracy. Dia tidak pernah bisa memukul bola dengan tepat. Itulah kenapa Kakek lebih menyukaiku yang berhasil menjadi pitcher (pelempar) favorit di tim inti klub Baseball sekolahku. 
Meski meringis, Ahmad menyeringai dan berkata, “Kalian juga nggak layak di sini. Tanah ini milik orang-orang Cherokee.”
Zack hendak mengayunkan tongkatnya lagi, tapi aku tahan seraya menunjuk ke tikungan lain yang agak jauh. Kami melihat moncong Cadillac putih berstrip biru muncul di tikungan itu. Mobilnya Sheriff!
Sontak aku, Zack dan dua teman kami kabur sebelum mobil sheriff itu terlihat seluruhnya. Kami berhasil kabur dan yakin kalau Ahmad tidak akan berani melaporkan perbuatan kami—setidaknya itu menurut Zack. Menurutku sendiri…, well, dari cara dia menahan dan melndungi diri dari serangan kami,  dia terkesan siap menghadapi kami; praktis dia bukan pengadu. Dia tidak akan melaporkan kami karena dia lebih memilih berhadapan langsung dengan agresi kami. 
Ahmad sebenarnya sesekolah denganku. Well, di kota kecil macam Apalachee Pass ini, seluruh anak sebayaku memang satu sekolah. Dia sekelas denganku di kelas Sains. Dia sebenarnya anak yang baik, dan ramah. Hanya saja, hidungnya yang besar dan bengkok seperti paruh elang, janggut lebat dan tutup kepala aneh yang selalu dikenakannya, benar-benar mencirikan dia seorang Moslem—seorang teroris. 
 Memang tidak sedikit di kota ini yang punya pandangan seperti ini terhadap dia (juga terhadap keluarganya), tapi sepertinya dia tidak terpengaruh. Maksudku, dia masih bersikap ramah meski dibully seperti itu, bahkan dia tersenyum kepadaku saat tanpa sengaja kami berpapasan. Pernah suatu siang di sekolah, Zack merampas topi aneh Ahmad dari belakang, lalu Zack melemparnya kepadaku, dan aku yakin Zack berharap Ahmad mencoba merebutnya kembali, tapi tidak. Dia malah diam dan tersenyum, lalu berpaling seolah menunggu respon kami selanjutnya. Kulihat muka Zack memerah karena marah. Aku coba meredam marah Zack dengan melempar topi aneh Ahmad sekuat yang aku bisa ke muka Ahmad. Aku tahu topi itu tidak akan melukai Ahmad, tapi bisa cukup mempermalukannya. Hanya saja sejengkal lagi lemparanku mengenai mukanya, dia dengan sigap menangkap topinya, padahal dia sedang berpaling, tidak melihat aku melemparnya. Alih-alih dipermalukan, dia malah mempermalukan aku dan tentu saja menambah marah Zack. Pulang sekolah kami memukulinya lebih lama dari biasanya.
Zack adalah sepupuku, dia lebih tua satu tahun dariku dan kami tinggal bersama Kakek. Orang tua Zack raib entah kemana. Menurut Zack sendiri, mereka meninggal ketika WTC runtuh 11 september silam, tapi sepertinya itu tidak benar. Menurut Kakek, orang tua Zack tidak ada hubungannya sama Manhattan, lebih-lebih sama WTC; ayahnya seorang berandalan geng motor asal Los Angeles, sementara ibunya (putrinya Kakek) gadis bengal yang…well, sebut saja mengecewakan Kakek dan Nenek. Meski aku tahu versi Kakek lebih mendekati kebenaran, tapi aku lebih terpengaruh oleh delusi Zack. Perlu kamu tahu ayahku (putra Kakek) meninggal ketika dinas di Irak. Dengan fakta itu kamu bisa mengerti, kan, kalau delusi Zack lebih menarik perhatianku? Sementara ibuku, dia masih hidup; dia sedang ada kontrak kerja di Jerman. 
Anyway, aku tidak menyangka pandanganku terhadap Ahamad bisa bergeser.
Aku ingat saat itu aku sedang latihan Baseball di lapangan sekolah. Aku sedang melatih lemparan curve-ku ketika aku melihat Ahmad, cukup jauh di luar lapangan, di bawah sebatang pohon ek. Dia sedang berdiri terdiam cukup lama, lalu kulihat dia membungkuk, berdiri lagi, lalu dia tersungkur sujud. Seketika aku tahu kalau dia sedang melakukan semacam ritual sembahyang. Lalu sebuah ide muncul di benakku. Terus terang sebenarnya aku tidak usah melakukannya, tapi pada saat itu ide itu terasa menggelitik. Aku lempar bola melambung, jauh, ke arah Ahmad. Dan tepat kena ke kepalanya!
Aku angkat dua kepalan tanganku, bersorak dalam hati, YES!!! Tapi kemenanganku itu sangat singkat. Tiba-tiba seseorang memukul kepalaku! Aku mendongak dan melihat pelatihku, Mr. Norris, telah melepas topinya yang tadi ia gunakan untuk memukul kepalaku. 
“Ambil bolanya dan minta maaf sama dia!” tandas Mr. Norris.
“Tapi, Coach—” 
Mr. Norris melotot dan menunjuk supaya aku segera melaksanakan perintahnya. “Setelah itu beri aku sepuluh putaran!” tandasnya lagi.
Aku diam. Aku melangkah pergi sambil merajuk dalam hati. Tentu saja aku tidak akan minta maaf! Tidak sudi aku minta maaf!
Aku dekati Ahmad sambil mengepalkan tangan. Dia masih dengan ritualnya saat aku sudah dekat. Aku pungut bolaku dan setelah itu kulihat dia telah selesai dan menatapku sambil tersenyum.
Aku mendengus. “Coach bilang aku mesti minta maaf. Tapi kau tahu aku tidak akan melakukannya, kan?”
Dia berdiri. “Tidak perlu. Aku sudah memaafkan kamu,” katanya santai.
Aku meludah, “Kau pikir sikap manismu itu bisa mengelabui aku, Teroris!”
Dia mengangkat bahu, “Aku tidak perlu mengelabui siapapun. Begitu juga dengan kamu, kan? Maksudku, kebencianmu sama aku—sama Muslim—lebih genuine. Well, ayah kamu meninggal di Irak, kan? Beda sama sepupumu, Zack, yang… yang berlari dari kenyataan. Kebenciannya membuat dia merasa lebih punya arti. Kebenciannya hanya menjadi saluran buat kemarahannya terhadap… well terhadap orang tuanya, terhadap hidupnya sendiri…. Kasihan sebenarnya anak itu….”
Seiring ucapannya itu mataku terbelalak. Da—darimana dia tahu?
“Darimana kamu tahu?” sergahku di akhir keterpekuranku.
Ahmad tersenyum, “Sun Tzu pernah menulis, ‘Jika kau mengenal dirimu sendiri dan mengenal musuhmu, maka kau tidak akan pernah takut akan hasil dari ratusan pertempuran.’ Well, sekarang aku sudah mengenal siapa kamu, kan? Lalu apa kamu sudah kenal siapa aku? Seorang teroris? Cuma segitu?”
Aku terdiam. Dan mendapati aku terdiam, dia merogoh tasnya, mengeluarkan sesuatu; sebuah buku kecil. 
“Tangkap!” katanya seraya melempar buku itu kepadaku.
Aku menangkapnya.
“Itu adalah aturan mainku,” kata Ahmad, “code of conduct-ku sehari-hari. Mungkin kam bisa mengenali siapa aku lewat buku itu. Dan mungkin kelak kamu bisa ‘mematahkan’ aku.”
Aku mengerenyit dan menatap buku itu sebentar sebelum berpaling ke Ahmad dan berkata, “Apa-apan kau? Mengapa kau lakukan ini?”
Ahmad mengangkat bahu. “Kalau kamu berhenti memukuli aku, aku akan sangat menghargainya. Tapi kalau kamu masih mau, aku juga tidak keberatan. Aku juga ingin tahu seberapa jauh aku bisa tumbuh kuat.”
Aku tatap dia, tapi dia malah tersenyum dan kemudian berkata, “Aku pergi. May peace be with you.” Dia pun menjauh.
Aku kembali ke lapangan, dan aku penuhi detensi Pelatih berlari sepuluh putaran. Tapi terus terang, sepuluh putaran itu tidak terasa olehku. Benakku tersita penuh oleh adegan bersama Ahmad tadi. Apa yang sebenarnya terjadi?
Usai latihan, Kakek menjemputku. Tidak sengaja sebenarnya; katanya sekalian jalan setelah pulang dari Home Depo buat beli perlengkapan berkebun Nenek. 
“Kena detensi?’ tanya Kakek menyambutku di mobil pick-up-nya. “Apa yang telah kamu lakukan?”
Aku hanya mengangkat bahu.
“Well, lihat sisi baiknya. Kamu akan jauh lebih kuat,” komentar Kakek santai.
Aku langsung menatap Kakek, tapi beliau tidak menyadari keterpekuranku; beliau telah fokus memperhatikan jalan.
Di rumah aku langsung masuk kamar. Aku ambil buku pemberian Ahmad dan membacanya sambil berbaring di tempat tidur. Code of conduct macam apa yang dia punya sebenarnya?
Di sampulnya tertulis, “Holy Quran”. Mendapati tulisan itu seketika benakku mengacu pada stereotype kalau buku ini jahat…, ayat-ayat setan. Tapi stereotype itu malah membuatku penasaran. Memangnya sejahat apa buku ini?
Aku buka buku itu. Buku itu terbagi jadi dua sisi; satu sisi bertuliskan bahasa Inggris, sisi yang lainnya coretan asing yang bisa aku tebak merupakan bahasa Arab.
In the name of God, The gracious, The Merciful…, aku mulai membaca.
Tujuh baris pertama kubaca dan aku mulai berpikir, tidak ada yang salah dengan ini. Tapi kemudian sebuah ide menumbuk benakku kalau ini semacam muslihat. Aku tutup cepat-cepat buku itu! Terdiam sejenak, berpikir, lalu sekonyong-konyong berdoa, “Oh, Tuhan, lindungi aku dari Iblis… dari Setan….” Lalu aku buka kembali. Well, aku memang penasaran—sangat penasaran. 
Hanya saja, aku terperanjat tiba-tiba karena jendela kamarku dibuka dan seseorang masuk! Sebenarnya aku tidak perlu terperanjat karena seseorang itu adalah Zack; dia sudah biasa memakai jendela kamarku untuk mencapai atap. Di atap, aku dan Zack mendapatkan semacam sanctuary—tempat pribadi dari jangkauan otoritas Kakek. Di atap biasanya Zack merokok, membaca Playboy atau segala hal yang tidak mau diketahui Kakek. 
Aku terperanjat karena tentu saja aku tidak ingin Zack tahu apa yang sedang aku baca, tapi sepertinya agak terlambat.
Perlahan Zack menjejak di lantai kamarku sebelum berpaling kepadaku dan bertanya, “Apa yang sedang kau baca?”
Memang aku ingin menyembunyikannya, tapi aku teringat gaya Ahmad merespon dan aku menirunya. “Quran,” jawabku santai seraya memperlihatkan buku itu. 
“Quran? Buku setan! Untuk apa?” Aku dengar nada bicaranya meninggi.
“You know,  seperti kata Sun Tzu, ‘Kenali dirimu dan kenali musuhmu, maka kau tidak akan takut ratusan pertempuran,’” jawabku masih santai. 
Zack manggut-manggut. “Good point,” katanya seraya hendak pergi keluar kamarku.
“Hey,” panggilku lalu memberi isyarat kalau di telinga Zack terselip sebatang rokok. 
Dia menyingkirkannya. “Kau punya permen?” tanyanya seraya mencoba mencium bau nafasnya sendiri.
Aku mengangkat bahu. “Gosok gigi saja!”
Dia pun pergi. Dan aku kembali ke Quran.



Terus terang, aku bukan pembaca yang cepat. Mungkin karena itulah aku agak lambat memahami isi Quran—maksudku aku tidak serta merta terkesima dengan isinya—terus terang ada banyak yang aku tidak mengerti. Karenanya juga aku tidak serta merta mengubah pandanganku terhadap Ahmad—meski memang ada efeknya, tapi tetap saja lambat. Dan aku mesti mengerti Ahmad dengan cara yang tidak di sangka-sangka; the hard way!
Selang tiga hari, kelas sains-ku mengadakan fieldtrip ke Atlanta, ke Fernbank Science Center. Dan tentu saja Ahmad ikut serta. Terus terang aku tidak terlalu suka fieldtrip ini. Hanya satu hal yang membuatku bisa bertahan untuk ikut; kesempatan melihat stadium baseball Atlanta Braves ketika kami melintasi Route 85 menuju pusat Atlanta. Oh, God…, aku harap kelak aku bisa berdiri di tengah stadium itu, mencetak lemparan-lemparan terbaikku! Memang khayal itu hanya sebentar, tapi layak buatku. Dan aku masih bisa bertahan dengan fieldtrip-nya dengan prediksi aku akan melihat stadium megah itu lagi saat kami kembali pulang. Prediksi itu ternyata keliru. 
Pulangnya, saat bis kami berhenti di sebuah lampu merah, tiba-tiba sebuah keributan terjadi! Pintu depan bis kami dipaksa dibuka oleh dua orang laki-laki bersenjata api! Teriakan bersahutan, yang kemudian dipaksa diam oleh dua laki-laki itu! Filedtrip yang membosankan ini, berubah menjadi sebuah skenario penyanderaan yang menegangkan!
Dua laki-laki itu memakai semacam topeng. Dari apa yang sempat aku lihat dan aku dengar, aku bisa berasumsi kedua orang itu telah merampok sebuah bank, tapi gagal melarikan diri dan akhirnya menyandera kami. 
Kami dipaksa merunduk di kursi kami. Kudengar di luar sana polisi sudah mengepung bis ini. Dan lewat pengeras suara mereka mulai bernegosiasi dengan perampok gagal ini. Aku sendiri tidak terlalu memperhatikan proses negosiasi itu, karena benakku masih dalam penyesalan kenapa aku mesti ikut fieldtrip ini. Tapi kemudian, penyesalan itu dipaksa berhenti oleh perasaan terkejut! 
Ketika kita duduk sambil dipaksa merunduk, yang kita bisa lihat hanyalah ujung sepatu kita, ya, kan? Aku juga begitu, tapi tiba-tiba saja di antara dua kakiku muncul kepala Ahmad! Tentu saja aku terkejut! Tapi aku hanya bisa melotot untuk melepas keterkejutanku itu! Dia berbaring di kolong bangku bis dan merayap dari dua bangku di depanku! Kini dia di bangkuku dan memberiku isyarat untuk tetap diam dan memberiku bungkusan berbentuk bulat. 
Masih terkejut, dan kini ditambah heran, aku raih bungkusan itu dan membukanya. Sebuah bola? Ya, yang dibungkus itu sebuah bola baseball. Dan bungkusannya terdapat tulisan.
Kamu tahu apa yang mesti dilakukan jika saatnya tiba! Aku tahu kamu takut, tapi jika kamu bisa melewati ini, aku yakin impianmu masuk Atlanta Braves tidak akan jauh lagi. Percayalah!
Aku membacanya dan terpana. Darimana dia tahu impianku? Aku tatap Ahmad dan dia malah mengacungkan jempol sebelum memberiku isyarat untuk mengangkat kakiku sedikit supaya dia bisa terus merayap ke bangku belakang. 
Tentu saja aku terpekur. Apa yang dia rencanakan? Apa yang dia mau dariku? Pikiran itu berulang-ulang berputar di benakku, tapi hati kecilku sadar kalau sebenarnya aku tahu, aku punya gambaran apa yang Ahmad harapkan dariku. Aku hanya ragu… dan takut. Lalu, dua menit kemudian, momen itu datang…. Dan kamu tahu, jika kamu berlatih baseball (atau apapun olahraganya) sesering aku, pada saat-saat tertentu kamu tidak akan bisa berpikir lagi; yang mengendalikan dirimu hanyalah insting!
Aku lihat Ahmad berjalan melewati aku. Dan tentu saja apa yang dia lakukan menarik perhatian dua penyandera kami itu. 
“Hey-Hey! Apa yang kau lakukan?” bentak salah seorang penyandera.
Ahmad berhenti dan memekik, “Playball!” lalu dia merunduk!
Pada momen ini, aku sudah keluar dari bangkuku dan berdiri di belakang Ahmad. Bola sudah di tanganku, dan ketika Ahmad memekik, tanganku sudah mengambil ancang-ancang, dan ketika Ahmad merunduk, bola telah lepas dari tanganku, melesat cepat dan menghantam muka salah seorang penyandera! 
Eh, lalu bagaimana dengan penyandera yang lainnya? Pikiran itu sempat membuatku ciut. Tapi kamu tahu? Ketika Ahmad merunduk itu, sebenarnya dia juga sedang membangun ancang-ancang, dan ketika bolaku melesat, dia juga ikut melesat dan menerjang lengan dan rahang penyandera yang lainnya.  
Dalam hitungan detik, kami terbebas dari drama penyanderaan ini!
***
Dalam kondisi yang lain mungkin aku tidak akan pernah mau duduk di samping Ahmad. Tapi kini aku duduk di sampingnya; bukan karena terpaksa atau tidak ada pilihan lain, tapi…, mungkin karena perasaanku masih kebas—masih sulit percaya dengan apa yang baru saja kami alami. Aku dan Ahmad duduk di semacam ruang tunggu kantor polisi. Kami baru saja memberikan keterangan kami tentang apa yang kami lakukan saat drama penyanderaan itu. Kamu tahu? Penyandera yang kena lemparanku mengalami gegar otak, sementara yang lain patah rahangnya. 
“Kau takut?” tanyaku pelan dan aku tidak bisa menahan gemetar dari nada suaraku.
“Sangat,” jawab Ahmad. “Bagaimanapun aku seorang Muslim. Sudah jadi stereotype kalau kami ini teroris. Polisi mungkin akan menahan aku lebih lama lagi.”
“Bukan, maksudku ketika di bis tadi. Bagaimana bisa kamu memikirkan ide itu? Merangkak di kolong bangku bis? Lebih-lebih darimana kamu tahu impianku masuk Atlanta Braves?”
Ahmad tersenyum, “Elementary, Watson,” jawabnya meniru tokoh detektif Sherlock Holmes, dan kemudian dia tertawa. “Well, sebenarnya aku tidak tahu. Lagipula itu sudah berlalu; nggak ada gunanya membahasnya. Tapi, coba tebak, sekarang di luar sana para wartawan sedang berkumpul. Mereka ingin mencari tahu, siapa yang membuat seorang bajingan gegar otak oleh lemparan cepatnya. The next thing you know, kamu akan terpampang di koran-koran sebagai, ‘Out-gunner dari Apalachee Pass’. Well, kita sedang di Atlanta, kan? Aku akan heran kalau Atlanta Braves akan tinggal diam mendengar berita semacam itu!”
Aku terperangah. “Ke—kenapa kamu melakukannya? Ma—maksudku, apa kamu tidak membenciku? Aku yang selama ini mem-bully kamu."
Kulihat tatapan Ahmad menerawang, tapi dia masih tersenyum. “Kamu tahu darimana asal kebencian?” tanyanya tiba-tiba, “Kebencian datang dari rasa takut; takut yang berasal dari ketidaktahuan—ketidak mengertian. Aku tidak takut terhadapmu, karenanya aku tidak bisa membencimu.” Lalu Ahmad mendengus, “Lagi pula, kalau kamu fans-nya Atlanta Braves, kamu pasti tahu perkataan ini, ‘Aku yang memegang pemukulnya, biar dia yang memegang bola gemetar ketakutan.’”
Aku mengerenyit heran, terus terang aku tidak tahu Ahmad mengutip kata-kata siapa, tapi kemudian jawabannya datang dari tempat yang tidak aku duga.
“Hammering Hank.” Kudengar suara Kekek dari belakangku. Kulihat beliau ditemani seorang polisi. “Itu kata-katanya Hammering Hank, bukan?” tanya Kakek ke Ahmad. 
“Ya, Sir. Aaron ‘Hammering’ Hank. 755 homerun, melewati rekor-nya Babe Ruth,” jawab Ahmad. 
“Kau suka Baseball?” tanya Kakek, dan kulihat senyum lebarnya.
“Cukup suka untuk tahu kalau cucu Anda bakal jadi pitcher  terhebat sepanjang masa, Sir. Mungkin bakal melebihi Walter Johnson.”
“Bukannya pitcher terbaik itu Roger Clemens?” sanggah Kakek.
“Well itu baseball modern, Sir, tapi saya bicara sepanjang usia baseball. Walter Johnson itu pemain Washington Senators di 1910-an, Sir. Well, usia Major League Baseball  hampir satu setengah abad, dan sudah dua ratus pemain yang masuk hall of fame; meski memang bisa diperdebatkan, fans baseball cukup kenal siapa saja pemain terbaik.”
Kulihat Kakek tertawa, yang cukup jarang aku lihat. Lalu beliau bertanya kepada polisi yang menemaninya apakah kami boleh pulang. Petugas polisi itu memperbolehkan, hanya saja kami mesti menjawab pertanyaan wartawan di Jumpa Pers di depan kantor polisi terlebih dahulu. 
Aku beranjak ketika Kakek memberi isyarat untuk mengikutinya.
“Ajak temanmu,” kata Kakek.
“Maaf, Sir,” timpal Ahamd, “Perlu Anda tahu saya Muslim, Sir.”
“Moslem?” kata Kakek, “Kamu pikir aku peduli? Walaupun kamu Osama Bin Laden, kalau dia bisa bicara baseball seperti kamu—the hell, aku akan mengundangnya makan malam! Ayo!”
Selanjutnya yang aku tahu, bocah Arab ini sudah menjadi teman Kakek. Melihat mereka, aku jadi penasaran bagaimana reaksi Zack kalau melihat ini.
***
Sampai di rumah, aku langsung masuk kamar. Awalnya aku hendak langsung berbaring, tapi urung ketika melihat jendela terbuka.
Apa Zack di atas? pikirku. Aku dekati jendela. Lalu, aku dengar sayup-sayup suara tangis. A—apa Zack menangis? 
Aku panjat jendela menuju atap. Aku melihat Zack, dan aku lihat punggungnya berguncang menahan tangis. 
“Zack? Kenapa? Ada masalah?” tanyaku.
“Nothing!” tukas Zack cepat seraya membenahi dirinya.
“Kau menangis?” Aku mendekatinya.
“Tidak!”
Kulihat dia memegang sebuah buku—Quran pemberian Ahmad tempo hari!
“Kau membacanya?” tanyaku.
“Tidak…,” sanggahnya dan kali ini terdengar lirih. “Buku ini… buku ini yang membaca aku….”
Keningku mengerenyit heran. Kulihat dia merunduk, menatap buku itu.
Tiba-tiba kulihat sorot matanya berubah dan berpaling kepadaku. “Kau tahu? Menurut buku ini, ketika Tuhan menciptakan manusia para malaikat bertanya ‘Kenapa? Kenapa Engkau hendak membuat manusia? ’ A—aku belum pernah melihat yang seperti ini sebelumnya! Sejauh yang aku tahu, malaikat itu mahluk suci yang menuruti perintah Tuhan, ya, kan? Tapi ini! Seolah…seolah malaikat mempertanyakan keputusan Tuhan. ‘What’s wrong with you, Lord? Engkau hendak ciptakan sesuatu yang akan merusak dan menumpahkan darah, sementara kami mengagungkanMu?’ Kau lihat bahasa yang digunakan di sini? ‘Merusak dan menumpahkan darah’ berseberangan dengan ‘mengagungkan Tuhan’. Tapi, buku ini diklaim mereka yang membom, membunuh, atas nama Tuhan! Paradoks, bukan?”
Terus terang aku terperangah! Aku tidak menyangka di balik badan besar Zack ada otak yang…yang perseptif. Aku sendiri tidak memikirkannya sampai sedalam itu.
Lalu kulihat Zack menarik nafas sejenak. “Lalu Tuhan menjawab, ‘Aku tahu apa yang tidak kau ketahui.’ Awalnya aku pikir itu jawaban yang obnoxious, tapi kalau dipikir-pikir.... Terus terang, Bill, apa yang kita tahu sebenarnya? The hell! We don’t know sh*t! Apa yang kita tahu datangnya dari orang lain; dari guru kita, media, orang tua….”
Kulihat Zack merunduk sebelum melanjutkan. “Aku… aku tahu ayah-ibuku membuangku, tapi kenapa? Apa ada alasan yang aku tidak ketahui? Yang bisa aku terima? Mengapa repot-repot aku dilahirkan? Apa aku tidak tahu apa yang Tuhan tahu? Oh, GOD! Aku ingin tahu! Aku ingin tahu….” Kalimat Zack berakhir dengan satu isakan tangis.
Aku termenung sejenak, sebelum mengutarakan sebuah saran, “Kenapa kau tidak bertanya saja sama Ahmad? Maksudku dia Muslim, pastinya dia tahu banyak tentang buku itu.”
“Yeah, right!” dengus Zack, “Apa kau yakin aku akan mendapat jawaban yang sebenarnya? Selama ini kita mem-bully dia! He hate us for sure!”
Aku tersenyum, “You sure? What do we really KNOW exactly?”
Zack menatapku.


selesai------------

gimana ? keren kan ? :')


No comments:

Post a Comment