Saturday, September 28, 2013

bukan puisi hujan #2


Wahai hujan..
yang mengajarkan arti hidup
Menghijaukan sawah
menenggelamkan rumah
Memasuki cela cela genting yang bocor
Mengotori sepatu import para borjuis
Bermain bersama suka ria anak anak
Menggetarkan dingin
pada gadis tak berpayung

Kau ajarkan sesuatu dengan menyentuhmu
Rahmat Allah selalu bersamamu........



Hujan tahun ini
laanjut »»  

Sunday, September 22, 2013

masjid JIN yang misterius itu ternyata benar2 ada :D


ini di Masjid tiban (tiba-tiba ada) atau yang lebih dikenal dengan masjid JIN.... nanti dilanjut deskripsinya deh laptop udah lowbat dan mati lampu hehee,,,,,

okee disambung yaaaa,
pada hari minggu kuturut ayah kekota, eh salah :p .
pada hari kedua lebaran idul fiitri 2013 bude kesayangan mengajak kami sekeluarga jalan-jalan ke malang, katanya sih mau ngasih liat masjid jin, aku dan ke4 saudaraku biasa aja soal ini gak banyak ngomong. manut ae :D

sepanjang perjalanan ke malang  bude dan ayah (sebutan kami ke pakde) bercerita  dengan sangat antusiasnya mengenai masjid jin. menggebu2 :D padahal kita gak terlalu paham .makin kesini kok jalanan makin sempit, kami menusuri jalan2 desa yang sepi dan lengang. moso' iyo ada masjid "megah" itu didaerah terpencil gini. makin lama kok makin penasaran yaaaaa, habisnya mobil ayah melewati jalanan kecil yang berbelok belok. duuuh padatlah perumahannya..... terus tiba-tiba dibalik pepohonan terlihatlah bangunan serba biru dari luar, masya Allah gede buangeeeet..... gak salah liat tuh beneran masjid ?di daerah kayak gini... jalanannya brooooo, mobil masuk 1 aja udh syukur banget....kucek-kucek mata.
. ternyata makin kesana makin banyak kita ngeliat mobil yang ngantri dan parkir....., eh halamannya luaaaas ? /?*&%%%$$# ?? hehe dan waaaowwww buanyak bnget pengunjungnyaaa, ini serius ? padahal dari luar tdi sueeeepi nya :p


foto diatas itu gak tau deh itu udah lantai keberapa. asli pol gak cuapek kamuu muter2 masjid ini
, yang ada bingung, bakalan terpukau deh sama arsitekturnya yang beda2 tiap lantai tiap sisi dan tiap sudut.
hmmm foto diatas ini kalo gak salah pigura waktu kita mau parkir gituuu, sebelum masuk ke wilayah masjid yang luas itu....


nah yang ini foto tampak depan sebelah kanan pintu masuk masjid, kalian perlu tahu masjid ini punya banyak sisi yang berbeda-beda arsitekturnya dn warnanya, tapi dari luar dominan biruuu sih :d

nah ini dilantai berapa hayooo ? haduuuh seperti yang sudah aku katakan, kalian gak bakalan ingat kalian sdh dilantai berapa saking takjub dan terpesonanya hanya selalu melihat ke kanan dan kiri atas bawah masjid dengan pandangan berbinar-binar, akuarium raksasa juga banyak disana, binatang2, tanaman2, bahkan kalian disuguhi makanan2 enak jika sampai di lantai sekretariat pondok, entah lantai berapa itu, dan perlu kalian tahu itu semua gak dipungut biaya alias gratis brooooo, pemerintah sempat menwarkan ke pemilik pondok untuk dijadikan objek wisata , tapi syangnya ditolak sama pemilik pesantren ini. mereka senang kalian bisa melihat keindahan islam dari sana tanpa pamrih. parkir juga gak bayar kok :p

 eh tadi aku nyebutin masjid itu pesantren yah.., nah sebenarnya ini masjid apa sih . pesantren apa masjid wisata yaaah ? penasaran ?

Disebut Masjid tiban karena Konon masjid yang sangat megah ini dibangun tanpa sepengetahuan warga sekitar, dan menurut mitos dibangun oleh jin dalam waktu hanya semalam. Namun, ketika desas-desus ini dikonfirmasi kepada “orang dalam”, dikatakan bahwa pembangunan masjid – yang sebenarnya merupakan kompleks pondok pesantren secara keseluruhan – semua bersifat transparan karena dikerjakan oleh santri dan jamaah. Bantahan dari “orang dalam” itu jelas sekali terpampang di depan meja penerima tamu dengan tulisan besar-besar, “Apabila ada orang yang mengatakan bahwa ini adalah pondok tiban (pondok muncul dengan sendirinya), dibangun oleh jin dsb., itu tidak benar. Karena bangunan ini adalah Pondok Pesantren Salafiyah Bihaaru Bahri ‘Asali Fadlaailir Rahmah yang murni dibangun oleh para santri dan jamaah.”
Pondok Pesantren tersebut konon mulai dibangun pada tahun 1978 oleh Romo Kiai Haji Ahmad Bahru Mafdlaluddin Shaleh Al-Mahbub Rahmat Alam, atau yang akrab disapa Romo Kiai Ahmad. Bangunan utama pondok dan masjid tersebut sudah mencapai 10 lantai, tingkat 1 sampai dengan 4 digunakan sebagai tempat kegiatan para Santri Pondokan, lantai 6 seperti ruang keluarga, sedangkan lantai 5, 7, 8 terdapat toko-toko kecil yang di kelola oleh para Santriwati (Santri Wanita), berbagai macam makanan ringan dijual dengan harga murah, selain itu ada juga barang-barang yang dijual berupa pakaian Sarung, Sajadah, Jilbab, Tasbih dan sebagainya.
Tak hanya unik, di dalam ponpes tersebut juga tersedia kolam renang, dilengkapi perahu yang hanya khusus untuk dinaiki wisatawan anak-anak. Di dalam komplek ponpes itu juga terdapat berbagai jenis binatang seperti kijang, monyet, kelinci, aneka jenis ayam dan burung.
Arsitek dari pembangunan ponpes ini bukanlah seseorang yang belajar dari ilmu arsitektur perguruan tinggi, melainkan hasil dari istikharah pemilik pondok, KH Achmad Bahru Mafdloludin Sholeh. Karenanya, bentuknya menjadi sangat unik, seperti perpaduan timur tengah, china dan modern. Untuk pembangunannya pun tidak menggunakan alat-alat berat dan modern seperti halnya untuk membangun gedung bertingkat. Semuanya dikerjakan oleh para santri yang berjumlah 250 orang dan beberapa penduduk di sekitar pondok. Romo Kiai sudah mulai membangun pondok dengan material apa adanya. Contohnya, waktu itu adanya baru batu merah saja maka batu merah itulah yang dipasang dengan luluh (adonan) dari tanah liat (lumpur atau ledok).
SEJARAH
Masid Turen merupakan sebuah pondok pesantren. Nama Pondok Pesantren (Ponpes) Salafiyah adalah Bihaaru Bahri ‘Asali Fadlaailir Rahmah (Bi Ba’a Fadlrah), yang terletak di Jalan KH. Wahid Hasyim Gang Anggur No.10, RT 07 / RW 06 Desa Sananrejo, Turen, Kabupaten Malang. Menurut salah seorang panitia, ponpes tersebut artinya segarane, segara, madune, Fadhole Rohmat. Rintisan Ponpes Bi Ba’a Fadlrah ini dimulai pada 1963 oleh Romo Kyai Haji Ahmad Bahru Mafdlaluddin Shaleh Al-Mahbub Rahmat Alam, atau yang akrab disapa Romo Kyai Ahmad.
Ponpes ini dibangun sejak tahun 1978 di areal seluas 4 hektare, dan kira-kira baru 1,5 hektare dari luas tanah itu yang digunakan untuk bangunan utamanya. Arsitektur bangunannya sangat menawan. Sangat serius. Ini terlihat di setiap detail ornamennya. Benar-benar tak disangka, jika di sebuah desa kecil Sananrejo, Turen, Kabupaten Malang berdiri sebuah bangunan yang arsitekturnya yang bisa membuat hati berdecak kagum. Begitu datang ke sini, pengunjung akan disambut oleh sebuah wahana demi wahana, dari melangkahkan kaki untuk pertama kalinya di dalam bangunan pondok pesantren ini, sampai keluar. Dari tingkat pertama sampai dengan tingkatnya yang ke sepuluh.
Lebih dari itu, arsitektur yang dipakai bukan hasil ilmu dan imajinasi seorang arsitek yang handal. Tapi dari hasil istikharah si pemilik pondok, KH Ahmad Bahru Mafdlaludin Soleh. Bangunan ini tidak dapat diperkirakan jadinya, sekarang sudah 10 lantai dibangun, bisa jadi nanti ditambah atau bisa-bisa dikurangi. Karena semua tergantung istikharah Romo Kyai (Kyai Ahmad, pen.). Romo Kyai juga yang ngepaskan amalan-amalan. Mungkin karena itu, banyak berita bahwa bangunan ini adalah masjid tiban (tiba-tiba ada). Padahal ini bukan masjid tapi ponpes, Gus Alief (santri) berkata “tiap hari selalu datang pengunjung dari berbagai kota ke ponpes ini. Di buku tamu pun berbagai komentar tentang keindahan ponpes ini tertulis. Bahkan, tak jarang ada yang mengaku tersentuh hatinya ketika memasuki sebuah ruang. Tiap orang berbeda.”
Sejak tahun 1978, Kyai Ahmad murid Kiai Sahlan di Sidoarjo ini memilih Turen untuk mendirikan ponpesnya. Sejak itulah, dengan dibantu oleh para santrinya, Kiai Ahmad memulai pembangunan ponpes dengan alat pertukangan sederhana dan proses belajar sendiri. Jadi jangan heran kalau akhirnya santri-santrinya punya spesialis ketrampilan. Santri Kiai Ahmad sekarang ada 32 yang sudah berkeluarga dan tinggal di sini. Jadi bisa dihitung tambahan santrinya. Sedang yang belum berkeluarga ada 37 orang. Semua santri itulah yang menjadi tukang sekaligus mandor bangunan ini. Mereka bekerja tidak menggunakan alat-alat berat modern. Semua dikerjakan sendiri.
Dengan belajar langsung dalam pembangunan ponpes inilah para santri diajar mengaji kehidupan sehari-hari. Mereka yang sudah berkeluarga pun yang belum akan memiliki peran sendiri-sendiri Di ponpes ini, orang bertabiat A sampai Z ada. Di sinilah mereka tersentuh hatinya. Dengan ikut berpartisipasi ini mereka mengamalkan ajaran cinta bukan pahala.
Harus diakui, lamanya proses pembagunan ponpes ini mengisyaratkan perlunya kesabaran dan keikhlasan. Tiap detil ornamen harus digarap dengan sabar dan teliti. Selain pekerjaan yang tak mudah itu, sebagai tukang, para santri juga bukan orang yang dibayar. Keikhlasanlah yang akhirnya menjadi oase di dalam hatinya. “Semua itu tentu saja sumbernya dari cinta. Dalam agama kita diajarkan itu semua. Dengan menjalani itu semua para santri membersihkan hatinya dari penyakit-penyakit hati. Kalau raganya yang sakit, datang ke sini maka yang disembuhkan adalah hatinya dulu,” urai Gus Alief. Sesudah itu semua, yang tak boleh dilupakan adalah ibadah syukur. “Ngibadah syukur tidak ada berhentinya. Yang tidak bisa, ya kita doakan saja.” Pungkas Gus Alief
ARSITEKTUR
Arsitektur bangunan yang mengagumkan dapat dilihat mulai pos depan masjid yang bergaya seperti candi hingga kompleks di dalam bangunan utama. Kubah-kubah bergaya India yang diukir tulisan Arab konon semua dikerjakan oleh santri pondok sendiri. Masjid ini terdiri dari 10 lantai yang dapat ditelusuri menggunakan lift atau tangga. Ornamen-ornamen ethnik dengan gaya Arab berlapis warna emas menghiasi dinding berbagai ruangan dan koridor. Di lantai dasar, bisa membeli aneka cinderamata untuk oleh-oleh. Sedangkan di lantai teratas, akan disuguhi pemandangan indah dari keseluruhan areal masjid.
Seni arsitektur yang sangat mengagumkan telah ditunjukkan ornamen-ornamen yang berada di tempat ini. Perpaduan gaya arsitektur Arab, India, China tampak terlihat dengan jelasnya. Dengan corak warna yang beragam membuat kesan bangunan sekilas bukan sebuah masjid. Sebenarnya ini adalah sebuah bangunan pondok pesantren. Terdapat salah satu ruang di sebelah kanan pintu masuk bangunan. Ruang tersebut nampak terdapat berbagai hiasan yang mirip sebuah penginapan. Baik hiasan yang tergantung di langit-langit ruangan maupun yang ditempelkan pada dinding ruangan. Bahkan, meja kursi yang terdapat di sana terbuat dari bahan kayu yang bentuknya sangat artistic.
Jika memasuki salah satu ruangan, di ruang tersebut akan terhubung oleh suatu pintu. Sehingga bisa memasuki ruangan yang lain, dimana tiap ruang mempunyai desain ruangan yang berbeda-beda. Jadi, kita tidak akan bosan memasuki ruang demi ruang. Dominasi desain ruangannya tidak jauh-jauh dari gaya kaligrafi. Kaligrafi dengan berbagai model, jenis, warna, bentuk, dan corak. Adanya salah satu jenis hiasan yang terdapat dalam salah satu ruang. Jam klasik ini tampak begitu bagus diletakkan di tengah-tengah ruangan. Ditempatkan di depan dinding yang bercorak kaligrafi dengan penataan yang sangat mengagumkan.
Bangunan pondok pesantren ini ada lift. Tidak begitu mengherankan jika di sini terdapat lift, karena bangunan ini terdiri 10 lantai. Meskipun belum sepenuhnya selesai dibangun, masih ada anak tangga ataupun jalan yang menghubungkan antar ruang atau antar lantai yang landai. Sehingga tidak merasakan naik ke lantai berikutnya. Jikalau merasa capai ketika berjalan, ada banyak tempat untuk beristirahat. Ada yang berupa kursi dari kayu jati dengan desain yang unik. Dan di salah satu ruang di lantai atas terdapat jenis ornamen yang menurut saya sangat bagus. Berupa kursi singgasana dengan hiasan warna kuning keemasan, simbol kemewahan nan anggun. Hiasan bergaya India dengan perpaduan rangkaian kaligrafi di beberapa bagiannya.
Juga terdapat gaya modern yang menghiasi berbagai ornamen yang ada di aksesoris maupun dinding-dinding bangunan ini. Ada kolam berukuran cukup besar, yang lengkap berisi ikan aneka ukuran di lantai bagian atas. Jenis yang terlihat saat itu adalah ikan koi, ikan emas, dan lain sebagainya. Adanya kubah-kubah yang berhiaskan semacam motif berwarna-warni yang semarak. Dimana di depannya diletakkan sejenis pohon kurma buatan. Yang unik, pohon kurma buatan ini terdapat lampu-lampu kecilnya, jika dinyalakan, akan tampak kelap-kelip. Yang lebih mengagumkan, di lantai atas lagi terdapat kebun jagung yang tumbuh subur. Juga terdapat semacam pekarangan yang disulap mirip kandang sebagai pemeliharaan beberapa ekor monyet yang sedang berlompatan ke sana-kemari.
Di bagian belakang adalah bangunan ponpes yang masih dalam tahap pengerjaan. Meski demikian, nampak anggun dan mewah unsur seni yang terdapat dalam ornamen-ornamennya. Di bagian dalam ada beberapa musholla. Untuk laki-laki terpisah dari musholla wanita. Di beberapa bagian musholla masih terlihat pengerjaan yang belum selesai, tapi sudah bisa digunakan. Meski belum selesai, beberapa kamera CCTV sudah terpasang di bagian dalam musholla. Yang unik adalah jalan menuju ke musholla ini dan tempat wudhu. Dengan suasana yang agak gelap, kita harus melewati beberapa lorong yang hanya cukup untuk dua orang saja. Bentuk lorong pun tidak selalu lurus, terkadang ada yang berbelok maupun malah menuju ke lantai yang lebih atas. Jika salah masuk lorong, dijamin tidak akan sampai ke musholla. Ini juga mungkin yang membuat ponpes ini unik dan menarik buat dikunjungi.
Luar bangunan jalan yang akan menuntun menuju tempat luar bangunan. Sebenarnya ketika ke luar menuju bangunan ini (di lantai atas) terdapat aneka kios yang menjajakan berbagai macam suvenir. Usai berjalan kembali sampai menuju ke lantai paling dasar, halaman bangunan ponpes ini. Dimana di bagian ini terdapat tempat peristirahatan yang lebih mirip bergaya kerajaan berwarna putih di hampir semua bagiannya. Tempat ini dibedakan tempatnya untuk pria dan wanita. Berbagai macam tempat duduk diletakkan disini. Sehingga kita bisa melepaskan penat usai "berkelana" di tempat ini sambil menikmati pemandangan pepohonan yang ada di sekitar. Aneka ornamen menghiasi dinding dan pilar-pilar yang terdapat di dalamnya. Sehingga kesan istimewa dan mewah patut disematkan di tempat ini. Sangat istimewa dengan segala pernak-pernik dan ornamennya. Perpaduan warna putih, biru, krem, kuning, dan lainnya terlihat sangat kompak dan padu.
Namun yang lebih unik lagi adalah di berbagai sudut ruangan tidak dijumpai kotak amal yang biasanya lazim di jumpai di salah satu sudut tempat peribadatan. Ketika berjalan menuju ke arah pintu ke luar, di salah satu sudut dindingnya terdapat kaligrafi berukuran besar yang "menempel" di sini. Ini adalah salah satu dari sekian banyak kaligrafi yang ada.
Di akhir kunjungan pengujung diminta mengisi pendapat tentang ponpes ini. Berbagai komentar pun ada, yang kebanyakan menyatakan kekaguman akan kemegahan dan kemewahan bangunan ponpes ini. Bahkan ada yang mengaku tersentuh hatinya ketika memasuki sebuah ruangan. Luar biasa. Yang menarik, setelah kita menuliskan pendapat, kita tidak ditarik uang sepeser pun. Ada satu papan yang didalamnya dipasang beberapa kliping berita di surat kabar tentang ponpes ini. Di situ juga ada semacam bantahan bahwa ponpes ini dibangun oleh bangsa jin.
TUJUAN UNTUK DIBANGUN
Masjid ini selain sebagai tempat ibadah juga sebagai pemersatu umat Islam dalam mengkaji Islam. Karena selain berfungsi sebagai masjid, tempat ini juga sebagai pondok pesantren yang berfungsi untuk mempelajari Islam secara dalam. Bangunannya yang indah dan megah membuat banyak orang yang datang untuk berkunjung ke masjid Turen ini. Mereka mengaggumi kuasa sang pencipta, karena atas hidayahnya yang telah diberikan kepada para pendiri dan masyarakat sekitar masjid ini dapat berdiri kokoh. Dengan adanya masjid itu, banyak masyarakat yang mendalami islam secara baik.




naaaaah yang ke malang, mampir yuuuk ke masjid ini :D dijamin setiap lantai menyuguhkan aroma penasaran yang berbeda-beda....



laanjut »»  

Tuesday, September 17, 2013

berjuta rasanya

Untuk kita yang terlalu malu walau sekedar
menyapanya, terlanjur bersemu merah,
dada berdegup lebih kencang,
keringatdingin di jemari,
bahkan sebelum sungguhan berpapasan.


Untuk kita, yang merasa tidak cantik,
tidak tampan, selalu merasa keliru
mematut warna baju dan pilihan celana (bawahan),
jauh dari kemungkinan menggapai
cita-cita perasaan.

untuk kita, yang hanya berani menulis
kata-kata dalam buku harian, memendam
perasaan lewat puisi-puisi, dan berharap
esok lusa ia akan sempat membacanya.

Semoga pemahaman baik itu datang.
bahwa semua pengalaman cinta dan
perasaan adalah special. Sama specialnya
dengan mlik kita. Tidak peduli sesederhana
apapun itu, sepanjang dibungkus dengan
pemahaman-pemahaman yang baik.

selamat merasakan hati hati yang berjuta rasanya.....
laanjut »»  

Friday, September 6, 2013

Transfer Raksasa Dunia

Gareth Bale dibeli Madrid dari Hotspur senilai 100 juta euro. Alias, 1,4 Triliun rupiah. Ini rekor pemain termahal di dunia, bahkan Christiano Ronaldo yang dulu dibeli dari MU, 'hanya' dengan harga 94 juta euro. Paket 100 juta euro ini belum termasuk gaji Bale yang juga ampun2an, lebih dari 14 juta euro per tahun. Mahal? Tentu saja mahal kalau dibandingkan dengan gaji perawat misalnya. Gaji setahun perawat di Eropa sana, hanya setara gaji 16 jam Gareth Bale. Jangan coba2 dibandingkan dengan gaji perawat di Indonesia, Bale hanya butuh 1 jam.

Saya tidak akan membahas soal perbandingan gaji-gaji ini, karena tidak ada manfaatnya. Toh, bukan urusan kita rezeki orang lain. Saya akan membahas transfer raksasa dunia ini agar orang2 punya sedikit ide, bagaimana bisa uang sebanyak ini bisa bekerja.

Apakah Madrid punya uang 100 juta euro utk membayarnya? Punya. Darimana mereka memperolehnya? Inilah menariknya bisnis raksasa sepakbola. Ketika Bale tiba di Spanyol, dia harus melakukan pemeriksaan medis. Tapi berbeda dari kelaziman yg cukup dilakukan di klinik klub, ketika Bale datang, klinik/rumah sakit top di sana mengajukan diri agar mereka terpilih. Dan menurut berita, jaringan klinik raksasa Sanitas, membayar 10 juta euro atas hak tersebut--sekaligus diliput, dsbgnya. Cling! bahkan belum main sekalipun, Bale sudah menghasilkan uang 1/10 dari harga belinya. Gila, kan? Belum lagi hak siar, sponshorsip, hak nebeng ini, hak nebeng itu.

Kaos! Ini juga tidak kalah menarik. Bisa dipastikan, kaos resmi Bale nomor 11 Madrid, akan terjual massif di sana. Dan jika satu kaos dihargai 50 euro, Bale hanya cukup menjual 2 juta kaos saja utk memperoleh 100 juta euro. Tidak otomatis impas, karena perlu dihitung biaya produksi kaosnya, tapi itu angka yang dahsyat. Bahkan, pedagang kaos tanah abang, pasar baru, yg tidak bayar royalti ke Madrid pun dpt uang dari jualan kaos si Bale ini.

Bisnis sepakbola adalah bisnis gila. Hutang Madrid dan Barcelona itu sama gilanya. Silahkan buka laporan keuangan mereka. Tapi mereka santai2 saja. Mereka butuh pemain bintang agar penonton berbondong2 datang ke stadion. Magnet klub menguar kemana2, menarik sponsor. Penuh sesak stadion mereka. Dan harga tiket di sana mahal sekali. Pertandingan ecek-ecek saja minimal 20-30 euro, kalikan dengan kapasitas stadion yang 80.000, maka sekali pertandingan Madrid meraih 2,4 juta euro. Belum lagi kalau big match kayak lawan Persib Bandung, eh maksud saya Barcelona, harga tiket bisa 80-100 euro.

Maka, dari sisi ini, membeli Gareth Bale semahal itu jadi lumrah saja. Bahkan jika kasusnya ternyata si Bale ini gagal bersinar, tetap masuk akal. Perlu dicatat, Madrid itu berkali2 gagal membeli pemain, ternyata tidak sehebat yang diduga (gol, assist, dll tidak sebaik ketika di klub sebelumnya). Owen, Kaka, dsbgnya, dsbgnya. Tapi tidak mengapa, Madrid tetap impas bahkan untung. Karena ini hanya bisnis. Karena itulah, hanya soal waktu, tahun-tahun depan, kita pasti akan dikejutkan lagi dengan rekor transfer.

Nah, dari begitu banyak saga transfer musim ini, saya lebih suka menyambut kabar gembira Oezil dibeli Arsenal. Ah, pintar sekali Opa Wenger mencari pemain, di detik2 terakhir pula. Kalian harus tahu, pemain nomor 10 Madrid telah pindah ke Arsenal, salah-satu tukang assist paling brilian yg pernah ada. Saya selalu menyukai klub2 seperti Liverpool, Arsenal, serta klub2 bang thoyib lainnya. 3 kali lebaran bahkan lebih nggak pulang2, eh maksud saya juara2. Maka semoga musim ini kompetisi liga Inggris semakin ketat. Bagi penonton seperti saya ini, manfaat dari bisnis sepakbola tidak banyak, nggak ada yg masuk kantong saya duit sebanyak itu, manfaatnya simpel: semakin banyaknya pertandingan bola yang seru.

Karena sejatinya, yg paling seru bagi penonton adalah saat menonton pertandingan bola itu. Bukan saat ribut berdebat, berantem, dsbgnya, dsbgnya tapi malah kagak pernah nonton, hanya baca berita2 di website saja
laanjut »»  

Monday, September 2, 2013

Playball!

Aku selalu menunggu cerpen-cerpen karya Donny, selalu inspiratif dan bikin terharu. Untuk itu aku berbagi cerpen ini, agar kalian juga merasakan hal yang sama denganku. hehe. cekidooottt.....


Percayalah pada Yankees, Anakku.
--Ernest Hemmingway dalam “Oldman and The Sea”

America’s tragedy.
--George Bernard Shaw, yang beliau tujukan pada olah raga Baseball


“Playball!”
Begitulah Ahmad memekik dan aku tahu itu adalah signal bagiku untuk melempar bola. Tapi, kami tidak sedang bermain baseball! Kami sedang bertaruh antara hidup dan mati! Jelas kami tidak berada di lapangan!
Ironisnya, pekikan Ahmad itu mengingatkan aku pada suatu pagi di mana  Zack, sepupuku, memekikkan kata yang sama saat melompat keluar di tikungan dan mengayunkan tongkat baseball-nya kepada Ahmad. Tongkat itu akan mendarat di dadanya kalau saja bocah Arab itu tidak sempat menghadang dengan kedua lengannya. Tapi memang tak ayal dia terdorong mundur juga dan terjungkal! Setelah dia terjungkal seperti itu, ritual biasa pun berlangsung; kami menendanginya ramai-ramai.
“Pulang ke kampungmu, Teroris! Kau tidak layak di sini!” pekik Zack saat kami berhenti menendangi bocah Arab itu. Zack meludah, dan aku yakin dia sebenarnya hendak meludahi muka Ahmad, tapi meleset.
Melihat itu aku sempat mendengus. Zack memang punya tangan kuat yang akan selalu mencetak home-run, jika dia berhasil memukul bola—aku tekankan, JIKA dia berhasil memukul bola. Dia memang kuat tapi tidak punya senses of accuracy. Dia tidak pernah bisa memukul bola dengan tepat. Itulah kenapa Kakek lebih menyukaiku yang berhasil menjadi pitcher (pelempar) favorit di tim inti klub Baseball sekolahku. 
Meski meringis, Ahmad menyeringai dan berkata, “Kalian juga nggak layak di sini. Tanah ini milik orang-orang Cherokee.”
Zack hendak mengayunkan tongkatnya lagi, tapi aku tahan seraya menunjuk ke tikungan lain yang agak jauh. Kami melihat moncong Cadillac putih berstrip biru muncul di tikungan itu. Mobilnya Sheriff!
Sontak aku, Zack dan dua teman kami kabur sebelum mobil sheriff itu terlihat seluruhnya. Kami berhasil kabur dan yakin kalau Ahmad tidak akan berani melaporkan perbuatan kami—setidaknya itu menurut Zack. Menurutku sendiri…, well, dari cara dia menahan dan melndungi diri dari serangan kami,  dia terkesan siap menghadapi kami; praktis dia bukan pengadu. Dia tidak akan melaporkan kami karena dia lebih memilih berhadapan langsung dengan agresi kami. 
Ahmad sebenarnya sesekolah denganku. Well, di kota kecil macam Apalachee Pass ini, seluruh anak sebayaku memang satu sekolah. Dia sekelas denganku di kelas Sains. Dia sebenarnya anak yang baik, dan ramah. Hanya saja, hidungnya yang besar dan bengkok seperti paruh elang, janggut lebat dan tutup kepala aneh yang selalu dikenakannya, benar-benar mencirikan dia seorang Moslem—seorang teroris. 
 Memang tidak sedikit di kota ini yang punya pandangan seperti ini terhadap dia (juga terhadap keluarganya), tapi sepertinya dia tidak terpengaruh. Maksudku, dia masih bersikap ramah meski dibully seperti itu, bahkan dia tersenyum kepadaku saat tanpa sengaja kami berpapasan. Pernah suatu siang di sekolah, Zack merampas topi aneh Ahmad dari belakang, lalu Zack melemparnya kepadaku, dan aku yakin Zack berharap Ahmad mencoba merebutnya kembali, tapi tidak. Dia malah diam dan tersenyum, lalu berpaling seolah menunggu respon kami selanjutnya. Kulihat muka Zack memerah karena marah. Aku coba meredam marah Zack dengan melempar topi aneh Ahmad sekuat yang aku bisa ke muka Ahmad. Aku tahu topi itu tidak akan melukai Ahmad, tapi bisa cukup mempermalukannya. Hanya saja sejengkal lagi lemparanku mengenai mukanya, dia dengan sigap menangkap topinya, padahal dia sedang berpaling, tidak melihat aku melemparnya. Alih-alih dipermalukan, dia malah mempermalukan aku dan tentu saja menambah marah Zack. Pulang sekolah kami memukulinya lebih lama dari biasanya.
Zack adalah sepupuku, dia lebih tua satu tahun dariku dan kami tinggal bersama Kakek. Orang tua Zack raib entah kemana. Menurut Zack sendiri, mereka meninggal ketika WTC runtuh 11 september silam, tapi sepertinya itu tidak benar. Menurut Kakek, orang tua Zack tidak ada hubungannya sama Manhattan, lebih-lebih sama WTC; ayahnya seorang berandalan geng motor asal Los Angeles, sementara ibunya (putrinya Kakek) gadis bengal yang…well, sebut saja mengecewakan Kakek dan Nenek. Meski aku tahu versi Kakek lebih mendekati kebenaran, tapi aku lebih terpengaruh oleh delusi Zack. Perlu kamu tahu ayahku (putra Kakek) meninggal ketika dinas di Irak. Dengan fakta itu kamu bisa mengerti, kan, kalau delusi Zack lebih menarik perhatianku? Sementara ibuku, dia masih hidup; dia sedang ada kontrak kerja di Jerman. 
Anyway, aku tidak menyangka pandanganku terhadap Ahamad bisa bergeser.
Aku ingat saat itu aku sedang latihan Baseball di lapangan sekolah. Aku sedang melatih lemparan curve-ku ketika aku melihat Ahmad, cukup jauh di luar lapangan, di bawah sebatang pohon ek. Dia sedang berdiri terdiam cukup lama, lalu kulihat dia membungkuk, berdiri lagi, lalu dia tersungkur sujud. Seketika aku tahu kalau dia sedang melakukan semacam ritual sembahyang. Lalu sebuah ide muncul di benakku. Terus terang sebenarnya aku tidak usah melakukannya, tapi pada saat itu ide itu terasa menggelitik. Aku lempar bola melambung, jauh, ke arah Ahmad. Dan tepat kena ke kepalanya!
Aku angkat dua kepalan tanganku, bersorak dalam hati, YES!!! Tapi kemenanganku itu sangat singkat. Tiba-tiba seseorang memukul kepalaku! Aku mendongak dan melihat pelatihku, Mr. Norris, telah melepas topinya yang tadi ia gunakan untuk memukul kepalaku. 
“Ambil bolanya dan minta maaf sama dia!” tandas Mr. Norris.
“Tapi, Coach—” 
Mr. Norris melotot dan menunjuk supaya aku segera melaksanakan perintahnya. “Setelah itu beri aku sepuluh putaran!” tandasnya lagi.
Aku diam. Aku melangkah pergi sambil merajuk dalam hati. Tentu saja aku tidak akan minta maaf! Tidak sudi aku minta maaf!
Aku dekati Ahmad sambil mengepalkan tangan. Dia masih dengan ritualnya saat aku sudah dekat. Aku pungut bolaku dan setelah itu kulihat dia telah selesai dan menatapku sambil tersenyum.
Aku mendengus. “Coach bilang aku mesti minta maaf. Tapi kau tahu aku tidak akan melakukannya, kan?”
Dia berdiri. “Tidak perlu. Aku sudah memaafkan kamu,” katanya santai.
Aku meludah, “Kau pikir sikap manismu itu bisa mengelabui aku, Teroris!”
Dia mengangkat bahu, “Aku tidak perlu mengelabui siapapun. Begitu juga dengan kamu, kan? Maksudku, kebencianmu sama aku—sama Muslim—lebih genuine. Well, ayah kamu meninggal di Irak, kan? Beda sama sepupumu, Zack, yang… yang berlari dari kenyataan. Kebenciannya membuat dia merasa lebih punya arti. Kebenciannya hanya menjadi saluran buat kemarahannya terhadap… well terhadap orang tuanya, terhadap hidupnya sendiri…. Kasihan sebenarnya anak itu….”
Seiring ucapannya itu mataku terbelalak. Da—darimana dia tahu?
“Darimana kamu tahu?” sergahku di akhir keterpekuranku.
Ahmad tersenyum, “Sun Tzu pernah menulis, ‘Jika kau mengenal dirimu sendiri dan mengenal musuhmu, maka kau tidak akan pernah takut akan hasil dari ratusan pertempuran.’ Well, sekarang aku sudah mengenal siapa kamu, kan? Lalu apa kamu sudah kenal siapa aku? Seorang teroris? Cuma segitu?”
Aku terdiam. Dan mendapati aku terdiam, dia merogoh tasnya, mengeluarkan sesuatu; sebuah buku kecil. 
“Tangkap!” katanya seraya melempar buku itu kepadaku.
Aku menangkapnya.
“Itu adalah aturan mainku,” kata Ahmad, “code of conduct-ku sehari-hari. Mungkin kam bisa mengenali siapa aku lewat buku itu. Dan mungkin kelak kamu bisa ‘mematahkan’ aku.”
Aku mengerenyit dan menatap buku itu sebentar sebelum berpaling ke Ahmad dan berkata, “Apa-apan kau? Mengapa kau lakukan ini?”
Ahmad mengangkat bahu. “Kalau kamu berhenti memukuli aku, aku akan sangat menghargainya. Tapi kalau kamu masih mau, aku juga tidak keberatan. Aku juga ingin tahu seberapa jauh aku bisa tumbuh kuat.”
Aku tatap dia, tapi dia malah tersenyum dan kemudian berkata, “Aku pergi. May peace be with you.” Dia pun menjauh.
Aku kembali ke lapangan, dan aku penuhi detensi Pelatih berlari sepuluh putaran. Tapi terus terang, sepuluh putaran itu tidak terasa olehku. Benakku tersita penuh oleh adegan bersama Ahmad tadi. Apa yang sebenarnya terjadi?
Usai latihan, Kakek menjemputku. Tidak sengaja sebenarnya; katanya sekalian jalan setelah pulang dari Home Depo buat beli perlengkapan berkebun Nenek. 
“Kena detensi?’ tanya Kakek menyambutku di mobil pick-up-nya. “Apa yang telah kamu lakukan?”
Aku hanya mengangkat bahu.
“Well, lihat sisi baiknya. Kamu akan jauh lebih kuat,” komentar Kakek santai.
Aku langsung menatap Kakek, tapi beliau tidak menyadari keterpekuranku; beliau telah fokus memperhatikan jalan.
Di rumah aku langsung masuk kamar. Aku ambil buku pemberian Ahmad dan membacanya sambil berbaring di tempat tidur. Code of conduct macam apa yang dia punya sebenarnya?
Di sampulnya tertulis, “Holy Quran”. Mendapati tulisan itu seketika benakku mengacu pada stereotype kalau buku ini jahat…, ayat-ayat setan. Tapi stereotype itu malah membuatku penasaran. Memangnya sejahat apa buku ini?
Aku buka buku itu. Buku itu terbagi jadi dua sisi; satu sisi bertuliskan bahasa Inggris, sisi yang lainnya coretan asing yang bisa aku tebak merupakan bahasa Arab.
In the name of God, The gracious, The Merciful…, aku mulai membaca.
Tujuh baris pertama kubaca dan aku mulai berpikir, tidak ada yang salah dengan ini. Tapi kemudian sebuah ide menumbuk benakku kalau ini semacam muslihat. Aku tutup cepat-cepat buku itu! Terdiam sejenak, berpikir, lalu sekonyong-konyong berdoa, “Oh, Tuhan, lindungi aku dari Iblis… dari Setan….” Lalu aku buka kembali. Well, aku memang penasaran—sangat penasaran. 
Hanya saja, aku terperanjat tiba-tiba karena jendela kamarku dibuka dan seseorang masuk! Sebenarnya aku tidak perlu terperanjat karena seseorang itu adalah Zack; dia sudah biasa memakai jendela kamarku untuk mencapai atap. Di atap, aku dan Zack mendapatkan semacam sanctuary—tempat pribadi dari jangkauan otoritas Kakek. Di atap biasanya Zack merokok, membaca Playboy atau segala hal yang tidak mau diketahui Kakek. 
Aku terperanjat karena tentu saja aku tidak ingin Zack tahu apa yang sedang aku baca, tapi sepertinya agak terlambat.
Perlahan Zack menjejak di lantai kamarku sebelum berpaling kepadaku dan bertanya, “Apa yang sedang kau baca?”
Memang aku ingin menyembunyikannya, tapi aku teringat gaya Ahmad merespon dan aku menirunya. “Quran,” jawabku santai seraya memperlihatkan buku itu. 
“Quran? Buku setan! Untuk apa?” Aku dengar nada bicaranya meninggi.
“You know,  seperti kata Sun Tzu, ‘Kenali dirimu dan kenali musuhmu, maka kau tidak akan takut ratusan pertempuran,’” jawabku masih santai. 
Zack manggut-manggut. “Good point,” katanya seraya hendak pergi keluar kamarku.
“Hey,” panggilku lalu memberi isyarat kalau di telinga Zack terselip sebatang rokok. 
Dia menyingkirkannya. “Kau punya permen?” tanyanya seraya mencoba mencium bau nafasnya sendiri.
Aku mengangkat bahu. “Gosok gigi saja!”
Dia pun pergi. Dan aku kembali ke Quran.



Terus terang, aku bukan pembaca yang cepat. Mungkin karena itulah aku agak lambat memahami isi Quran—maksudku aku tidak serta merta terkesima dengan isinya—terus terang ada banyak yang aku tidak mengerti. Karenanya juga aku tidak serta merta mengubah pandanganku terhadap Ahmad—meski memang ada efeknya, tapi tetap saja lambat. Dan aku mesti mengerti Ahmad dengan cara yang tidak di sangka-sangka; the hard way!
Selang tiga hari, kelas sains-ku mengadakan fieldtrip ke Atlanta, ke Fernbank Science Center. Dan tentu saja Ahmad ikut serta. Terus terang aku tidak terlalu suka fieldtrip ini. Hanya satu hal yang membuatku bisa bertahan untuk ikut; kesempatan melihat stadium baseball Atlanta Braves ketika kami melintasi Route 85 menuju pusat Atlanta. Oh, God…, aku harap kelak aku bisa berdiri di tengah stadium itu, mencetak lemparan-lemparan terbaikku! Memang khayal itu hanya sebentar, tapi layak buatku. Dan aku masih bisa bertahan dengan fieldtrip-nya dengan prediksi aku akan melihat stadium megah itu lagi saat kami kembali pulang. Prediksi itu ternyata keliru. 
Pulangnya, saat bis kami berhenti di sebuah lampu merah, tiba-tiba sebuah keributan terjadi! Pintu depan bis kami dipaksa dibuka oleh dua orang laki-laki bersenjata api! Teriakan bersahutan, yang kemudian dipaksa diam oleh dua laki-laki itu! Filedtrip yang membosankan ini, berubah menjadi sebuah skenario penyanderaan yang menegangkan!
Dua laki-laki itu memakai semacam topeng. Dari apa yang sempat aku lihat dan aku dengar, aku bisa berasumsi kedua orang itu telah merampok sebuah bank, tapi gagal melarikan diri dan akhirnya menyandera kami. 
Kami dipaksa merunduk di kursi kami. Kudengar di luar sana polisi sudah mengepung bis ini. Dan lewat pengeras suara mereka mulai bernegosiasi dengan perampok gagal ini. Aku sendiri tidak terlalu memperhatikan proses negosiasi itu, karena benakku masih dalam penyesalan kenapa aku mesti ikut fieldtrip ini. Tapi kemudian, penyesalan itu dipaksa berhenti oleh perasaan terkejut! 
Ketika kita duduk sambil dipaksa merunduk, yang kita bisa lihat hanyalah ujung sepatu kita, ya, kan? Aku juga begitu, tapi tiba-tiba saja di antara dua kakiku muncul kepala Ahmad! Tentu saja aku terkejut! Tapi aku hanya bisa melotot untuk melepas keterkejutanku itu! Dia berbaring di kolong bangku bis dan merayap dari dua bangku di depanku! Kini dia di bangkuku dan memberiku isyarat untuk tetap diam dan memberiku bungkusan berbentuk bulat. 
Masih terkejut, dan kini ditambah heran, aku raih bungkusan itu dan membukanya. Sebuah bola? Ya, yang dibungkus itu sebuah bola baseball. Dan bungkusannya terdapat tulisan.
Kamu tahu apa yang mesti dilakukan jika saatnya tiba! Aku tahu kamu takut, tapi jika kamu bisa melewati ini, aku yakin impianmu masuk Atlanta Braves tidak akan jauh lagi. Percayalah!
Aku membacanya dan terpana. Darimana dia tahu impianku? Aku tatap Ahmad dan dia malah mengacungkan jempol sebelum memberiku isyarat untuk mengangkat kakiku sedikit supaya dia bisa terus merayap ke bangku belakang. 
Tentu saja aku terpekur. Apa yang dia rencanakan? Apa yang dia mau dariku? Pikiran itu berulang-ulang berputar di benakku, tapi hati kecilku sadar kalau sebenarnya aku tahu, aku punya gambaran apa yang Ahmad harapkan dariku. Aku hanya ragu… dan takut. Lalu, dua menit kemudian, momen itu datang…. Dan kamu tahu, jika kamu berlatih baseball (atau apapun olahraganya) sesering aku, pada saat-saat tertentu kamu tidak akan bisa berpikir lagi; yang mengendalikan dirimu hanyalah insting!
Aku lihat Ahmad berjalan melewati aku. Dan tentu saja apa yang dia lakukan menarik perhatian dua penyandera kami itu. 
“Hey-Hey! Apa yang kau lakukan?” bentak salah seorang penyandera.
Ahmad berhenti dan memekik, “Playball!” lalu dia merunduk!
Pada momen ini, aku sudah keluar dari bangkuku dan berdiri di belakang Ahmad. Bola sudah di tanganku, dan ketika Ahmad memekik, tanganku sudah mengambil ancang-ancang, dan ketika Ahmad merunduk, bola telah lepas dari tanganku, melesat cepat dan menghantam muka salah seorang penyandera! 
Eh, lalu bagaimana dengan penyandera yang lainnya? Pikiran itu sempat membuatku ciut. Tapi kamu tahu? Ketika Ahmad merunduk itu, sebenarnya dia juga sedang membangun ancang-ancang, dan ketika bolaku melesat, dia juga ikut melesat dan menerjang lengan dan rahang penyandera yang lainnya.  
Dalam hitungan detik, kami terbebas dari drama penyanderaan ini!
***
Dalam kondisi yang lain mungkin aku tidak akan pernah mau duduk di samping Ahmad. Tapi kini aku duduk di sampingnya; bukan karena terpaksa atau tidak ada pilihan lain, tapi…, mungkin karena perasaanku masih kebas—masih sulit percaya dengan apa yang baru saja kami alami. Aku dan Ahmad duduk di semacam ruang tunggu kantor polisi. Kami baru saja memberikan keterangan kami tentang apa yang kami lakukan saat drama penyanderaan itu. Kamu tahu? Penyandera yang kena lemparanku mengalami gegar otak, sementara yang lain patah rahangnya. 
“Kau takut?” tanyaku pelan dan aku tidak bisa menahan gemetar dari nada suaraku.
“Sangat,” jawab Ahmad. “Bagaimanapun aku seorang Muslim. Sudah jadi stereotype kalau kami ini teroris. Polisi mungkin akan menahan aku lebih lama lagi.”
“Bukan, maksudku ketika di bis tadi. Bagaimana bisa kamu memikirkan ide itu? Merangkak di kolong bangku bis? Lebih-lebih darimana kamu tahu impianku masuk Atlanta Braves?”
Ahmad tersenyum, “Elementary, Watson,” jawabnya meniru tokoh detektif Sherlock Holmes, dan kemudian dia tertawa. “Well, sebenarnya aku tidak tahu. Lagipula itu sudah berlalu; nggak ada gunanya membahasnya. Tapi, coba tebak, sekarang di luar sana para wartawan sedang berkumpul. Mereka ingin mencari tahu, siapa yang membuat seorang bajingan gegar otak oleh lemparan cepatnya. The next thing you know, kamu akan terpampang di koran-koran sebagai, ‘Out-gunner dari Apalachee Pass’. Well, kita sedang di Atlanta, kan? Aku akan heran kalau Atlanta Braves akan tinggal diam mendengar berita semacam itu!”
Aku terperangah. “Ke—kenapa kamu melakukannya? Ma—maksudku, apa kamu tidak membenciku? Aku yang selama ini mem-bully kamu."
Kulihat tatapan Ahmad menerawang, tapi dia masih tersenyum. “Kamu tahu darimana asal kebencian?” tanyanya tiba-tiba, “Kebencian datang dari rasa takut; takut yang berasal dari ketidaktahuan—ketidak mengertian. Aku tidak takut terhadapmu, karenanya aku tidak bisa membencimu.” Lalu Ahmad mendengus, “Lagi pula, kalau kamu fans-nya Atlanta Braves, kamu pasti tahu perkataan ini, ‘Aku yang memegang pemukulnya, biar dia yang memegang bola gemetar ketakutan.’”
Aku mengerenyit heran, terus terang aku tidak tahu Ahmad mengutip kata-kata siapa, tapi kemudian jawabannya datang dari tempat yang tidak aku duga.
“Hammering Hank.” Kudengar suara Kekek dari belakangku. Kulihat beliau ditemani seorang polisi. “Itu kata-katanya Hammering Hank, bukan?” tanya Kakek ke Ahmad. 
“Ya, Sir. Aaron ‘Hammering’ Hank. 755 homerun, melewati rekor-nya Babe Ruth,” jawab Ahmad. 
“Kau suka Baseball?” tanya Kakek, dan kulihat senyum lebarnya.
“Cukup suka untuk tahu kalau cucu Anda bakal jadi pitcher  terhebat sepanjang masa, Sir. Mungkin bakal melebihi Walter Johnson.”
“Bukannya pitcher terbaik itu Roger Clemens?” sanggah Kakek.
“Well itu baseball modern, Sir, tapi saya bicara sepanjang usia baseball. Walter Johnson itu pemain Washington Senators di 1910-an, Sir. Well, usia Major League Baseball  hampir satu setengah abad, dan sudah dua ratus pemain yang masuk hall of fame; meski memang bisa diperdebatkan, fans baseball cukup kenal siapa saja pemain terbaik.”
Kulihat Kakek tertawa, yang cukup jarang aku lihat. Lalu beliau bertanya kepada polisi yang menemaninya apakah kami boleh pulang. Petugas polisi itu memperbolehkan, hanya saja kami mesti menjawab pertanyaan wartawan di Jumpa Pers di depan kantor polisi terlebih dahulu. 
Aku beranjak ketika Kakek memberi isyarat untuk mengikutinya.
“Ajak temanmu,” kata Kakek.
“Maaf, Sir,” timpal Ahamd, “Perlu Anda tahu saya Muslim, Sir.”
“Moslem?” kata Kakek, “Kamu pikir aku peduli? Walaupun kamu Osama Bin Laden, kalau dia bisa bicara baseball seperti kamu—the hell, aku akan mengundangnya makan malam! Ayo!”
Selanjutnya yang aku tahu, bocah Arab ini sudah menjadi teman Kakek. Melihat mereka, aku jadi penasaran bagaimana reaksi Zack kalau melihat ini.
***
Sampai di rumah, aku langsung masuk kamar. Awalnya aku hendak langsung berbaring, tapi urung ketika melihat jendela terbuka.
Apa Zack di atas? pikirku. Aku dekati jendela. Lalu, aku dengar sayup-sayup suara tangis. A—apa Zack menangis? 
Aku panjat jendela menuju atap. Aku melihat Zack, dan aku lihat punggungnya berguncang menahan tangis. 
“Zack? Kenapa? Ada masalah?” tanyaku.
“Nothing!” tukas Zack cepat seraya membenahi dirinya.
“Kau menangis?” Aku mendekatinya.
“Tidak!”
Kulihat dia memegang sebuah buku—Quran pemberian Ahmad tempo hari!
“Kau membacanya?” tanyaku.
“Tidak…,” sanggahnya dan kali ini terdengar lirih. “Buku ini… buku ini yang membaca aku….”
Keningku mengerenyit heran. Kulihat dia merunduk, menatap buku itu.
Tiba-tiba kulihat sorot matanya berubah dan berpaling kepadaku. “Kau tahu? Menurut buku ini, ketika Tuhan menciptakan manusia para malaikat bertanya ‘Kenapa? Kenapa Engkau hendak membuat manusia? ’ A—aku belum pernah melihat yang seperti ini sebelumnya! Sejauh yang aku tahu, malaikat itu mahluk suci yang menuruti perintah Tuhan, ya, kan? Tapi ini! Seolah…seolah malaikat mempertanyakan keputusan Tuhan. ‘What’s wrong with you, Lord? Engkau hendak ciptakan sesuatu yang akan merusak dan menumpahkan darah, sementara kami mengagungkanMu?’ Kau lihat bahasa yang digunakan di sini? ‘Merusak dan menumpahkan darah’ berseberangan dengan ‘mengagungkan Tuhan’. Tapi, buku ini diklaim mereka yang membom, membunuh, atas nama Tuhan! Paradoks, bukan?”
Terus terang aku terperangah! Aku tidak menyangka di balik badan besar Zack ada otak yang…yang perseptif. Aku sendiri tidak memikirkannya sampai sedalam itu.
Lalu kulihat Zack menarik nafas sejenak. “Lalu Tuhan menjawab, ‘Aku tahu apa yang tidak kau ketahui.’ Awalnya aku pikir itu jawaban yang obnoxious, tapi kalau dipikir-pikir.... Terus terang, Bill, apa yang kita tahu sebenarnya? The hell! We don’t know sh*t! Apa yang kita tahu datangnya dari orang lain; dari guru kita, media, orang tua….”
Kulihat Zack merunduk sebelum melanjutkan. “Aku… aku tahu ayah-ibuku membuangku, tapi kenapa? Apa ada alasan yang aku tidak ketahui? Yang bisa aku terima? Mengapa repot-repot aku dilahirkan? Apa aku tidak tahu apa yang Tuhan tahu? Oh, GOD! Aku ingin tahu! Aku ingin tahu….” Kalimat Zack berakhir dengan satu isakan tangis.
Aku termenung sejenak, sebelum mengutarakan sebuah saran, “Kenapa kau tidak bertanya saja sama Ahmad? Maksudku dia Muslim, pastinya dia tahu banyak tentang buku itu.”
“Yeah, right!” dengus Zack, “Apa kau yakin aku akan mendapat jawaban yang sebenarnya? Selama ini kita mem-bully dia! He hate us for sure!”
Aku tersenyum, “You sure? What do we really KNOW exactly?”
Zack menatapku.


selesai------------

gimana ? keren kan ? :')


laanjut »»  

Old Habit Die hard


  penulis : Donny Muhammad Ramdhan
Sow a habit, and you reap a character,
—Emerson, Ralph Waldo

Old habit die hard, 
Begitulah kata Mick Jagger, dan aku harus akui itu memang benar. Kebiasaan lama memang sulit dihilangkan. Belum sebulan aku menjadi Muslim, lalu di jumat malam, sepulang dari kantor, aku hadiri sebuah pesta, menghabiskan dua pitcher margarita, dan berakhir dengan zina dengan seorang wanita. 
Hang-over membuatku kesiangan dan bablas nggak solat subuh. Aku terbangun ketika matahari telah tinggi. Dentuman-dentuman keras terasa berirama di kepalaku ketika aku memaksakan diri beranjak, membuatku tidak sepenuhnya sadar, atau bahkan tidak peduli kalau partner zinaku telah raib entah ke mana. Yang aku sadari pasti, rasa bersalah mulai menggelayut di dalam dadaku. Aku sudah tidak lagi Muslim, begitulah pikirku.
Aku sempat menangis sebelum mual memaksaku bergegas ke jamban dan muntah. 
Aku habiskan akhir pekan itu dengan mabuk. Aku sudah rusak, kenapa nggak hancur sekalian!
Self loathing…. Self elimination…. Self annihilation….  

Senin pagi.
“No offense, but you look like sh*t,” komentar seorang rekanku saat aku keluar dari lift menuju cubicle-ku. Penampilanku memang rapi, tapi berbeda dengan mukaku; tirus, pucat, berhias noda hitam di bawah mata.
“Non taken. I feel like sh*t,” jawabku, “Kurang tidur.” 
Rekanku itu berkomentar lagi, tapi aku tidak mendengarkan. Aku langsung menuju cubicle-ku dengan niat langsung bekerja. 
Huff, let’s get this over with! Satu hari yang lain dalam hidup tanpa makna ini. GOD, I feel sooo… empty!
Tapi kemudian, alih-alih bekerja, aku malah melamun.
Kamu tahu? Sejam sebelum ini, ketika aku keluar dari stasiun subway, aku dihadang sebuah lubang di lantai beton trotoar. Mungkin lebih tepatnya sebuah celah, karena besarnya tidak lebih dari empat inci. Yang membuatku berhenti adalah sejumput rumput liar tumbuh dari celah itu. Well, kamu bisa bayangkan bagaimana ramainya trotoar Wall street di pagi hari, kan? Padatnya manusia-manusia dengan langkah cepatnya, membuat sejumput rumput itu begitu kontras dan seketika mengetuk imajinasiku. Seolah diam tenangnya rumput itu. bertanya, “Hendak kemana engkau, wahai manusia, dengan langkah terburu-buru itu?”
Aku hampir menangis, kamu tahu itu? Rumput itu membuatku melihat orang-orang di sekitarnya menjadi tak lebih dari… dari… robot-robot bernyawa…. Dan aku salah satunya.  
Aku masih menatap rumput itu dan membantin, “Ya, Tuhan, seandainya Engkau ada, tentunya Engkau lebih memihak rumput itu daripada manusia-manusia ini, kan?” Oh, tentu saja Tuhan lebih memihak rumput itu! Lihat saja, langkah cepat robot-robot bernyawa ini tidak ada yang berani menginjaknya!
Aku tinggalkan rumput itu. Dia akan berjaya, setidaknya sampai pihak Pemeliharaan Kota New York menambal celah itu. 
Lamunanku terusik oleh datangnya seseorang. Seorang office clerk berbadan besar. Dia menyerahkan sebuah folder berisi prospectus sebuah perusahaan farmasi yang akan aku jadikan basis analisa buat bosku apa dia mesti berinvestasi di perusahaan itu atau tidak. Aku terima folder itu bersama resolusi pahit di bantinku, kembali menjadi robot bernyawa….
Berbeda dengan senin yang lalu. Meski aku bekerja seperti ini, aku masih merasa punya arti karena aku masih Muslim. Aku masih punya Tuhan untuk menjadi acuan dan tujuan hidup. Tapi sekarang….
Tiba-tiba aku dikejutkan oleh sebuah suara. Suara itu tidak keras, tapi tiba-tiba! Suara itu berasal dari office clerk tadi yang hendak meninggalkan cubicle-ku. Aku tidak pernah memperhatikan kalau dia selalu memasang earphone di telinganya, jikapun aku sadari, aku akan segera berasumsi dia mendengarkan musik atau semacamnya, dan tak akan pernah terpikir kalau dia mendengarkan…
“Innallaha ghofururrohiiiim!”
Al Quran! Ya, aku yakin dia mendengarkan Al Quran!
Suara itu aku dengar ketika tanpa sengaja kabel earphone Office clerk itu tersangkut sudut partisi cubicle. Dia pun tampak terkejut dan seketika tampak mukanya memerah karena malu. Dia langsung mematikan media player-nya dan sempat menatapku sejenak sebelum berkata, “Maaf, Sir.” Lalu pergi.
Aku tidak berkata apa-apa dan hanya tertegun menatapnya pergi.
Dia seorang pria kaukasiod berbadan besar dengan kepala botak dan berwajah sangar. Yang menarik, di tengkuk clerk ini terdapat tato berbentuk pentagram yang bisa aku tebak semacam simbol genk atau semacamnya, atau bahkan mungkin semacam occult pemuja setan, entahlah. Pertama kali aku melihatnya aku sempat bertanya-tanya, “Apa dia seorang residivis atau apa? Bisa-bisanya personalia menerima dia bekerja di sini.” Dan tentu saja tidak pernah terpikir olehku kalau dia seorang Muslim. 
Dia seorang Muslim? Benarkah? pikirku. Dan aku sempat penasaran akan sosok besar itu. Meski penasaran itu terlibas, hilang terlupa oleh kesibukanku.

Keluar kantor aku tidak langsung pulang. Aku mampir ke sebuah pub. Ya, ya, aku tahu ini bukan langkah yang baik! Tapi aku tidak bisa menahannya! Lagipula state of mind-ku masih berangapan aku tidak lagi Muslim. Tidak ada yang bisa aku lakukan selain kembali kepada alkohol dan hangar-bingar musik sebagai alat yang bisa membuat otakku kebas dan mengalihkan perhatianku dari… dari hidup…. 
Sebenarnya sebelum masuk pub itu aku sudah bisa menduga skenario yang bakal terjadi. Aku akan membuka diri dengan memesan martini, kemudian sambil mengangguk-angguk seiring musik, mataku akan jelalatan mencari lawan jenis, dan ketika ada kontak mata, lalu berkenalan, flirting, dansa, lalu berujung ke zina. Skenario itu berjalan dengan baik, dan nyaris sempurna kalau saja cewek yang aku flirt itu belum punya pacar. Kamu bisa menduga pacarnya itu marah, kan? Dan ternyata dia punya beberapa teman—entah berapa orang tepatnya; aku sulit menghitung setelah lima martini yang aku tegak. Mereka menyeretku ke luar pub dan memukuli aku. Well, sebenarnya itu tak perlu terjadi seandainya sisi self destructive-ku tidak muncul—dengan kata lain, aku menantang mereka berkelahi, meski tahu aku sendirian.
Hanya saja, setelah sebuah pukulan yang membuatku jatuh terjengkang, aku mendengar suara  berat yang sepertinya aku kenal berkata, “Itu sudah cukup, guys, jika kalian tidak ingin kubuat lumpuh!”
Sambil terlentang aku mendongak, dan melihat sosok besar berkepala botak. 
Clerk itu!
Clerk itu memang sendiri, tapi sosok besar dan sangarnya membuat mereka kecut dan pergi. 
“Kau seharusnya nggak usah ikut campur!” dengusku seperginya mereka. Aku coba berdiri, tetapi gagal. Kepalaku terasa berputar-putar.
“Maaf, Sir,” tanggapnya datar seraya membantuku berdiri dan memapahku. 
“Bagaimana kau bisa ada di sini?” tanyaku.
“Saya tinggal di dekat sini, Sir.”
Mendadak aku mual dan muntah.
“Ayo, Sir, biar saya belikan secangkir kopi ,” katanya setelah aku puas muntah. Dan dia memapahku memasuki sebuah kedai. Memapahku sampai duduk di sebuah meja, lalu dia duduk berseberangan denganku. Dia panggil seorang pelayan dan memesan satu poci kopi. Lalu sambil menunggu kopi kami, dia duduk dengan tenang sambil menatap keluar jendela kedai. Dia diam saja. 
Dia diam saja ketika kopinya datang, dan masih diam ketika menuangkan secangkir untukku. Dia nikmati kopinya sambil menatap jendela kedai dan tetap diam meski aku terus memperhatikannya.
“Siapa namamu?” tanyaku setelah jengah dalam diam dan yakin pria besar di depanku ini tidak punya inisiatif untuk membuka pembicaraan. Aku ambil sebungkus rokok dari saku celanaku. 
“Ben, Sir,” jawabnya. 
“Aku Alex,” tanggapku seraya menyelipkan sebatang rokok ke sudut bibirku. “Dan kau seorang Muslim?”
“Ya, Sir, saya Muslim.”
Aku tawarkan rokokku dan dia tampak ragu sejenak sebelum  akhirnya mengambil sebatang. Aku ambil pemantik dan menyalakan rokokku. Lalu aku hendak menyalakan punyanya, tapi dia menolak dengan berkata, “Sebenarnya saya sudah berhenti, Sir.”
“Sori.”
“Tidak apa-apa, Sir. Seperti kata orang-orang, old habit die hard.” Dia merunduk sambil memilin-milin rokoknya.
Aku mendengus. “Tell me about it! Dan jangan panggil aku, Sir! Just Alex.”
Aku hisap rokokku dalam-dalam sebelum melanjutkan pembicaraan. “Kau tahu, Ben? Aku juga seorang Muslim—well, setidaknya sampai jumat kemarin.”
Kening lebar Ben mengerenyit. “Anda tidak lagi percaya sama Islam?” tanyanya.
“Oh, aku percaya—more than ever. Aku hanya,” mendadak aku merasa ragu, “aku sudah melakukan dosa.”
“Benarkah?” Dia terperanjat seolah tidak percaya, tapi terkesan kasual, bahkan sepertinya dia menemukan sesuatu yang lucu dari ucapanku.
“Apanya yang lucu?” sergahku.
“Nothing, Sir. Hanya, yang saya tahu, berdosa tidak berarti Anda tidak lagi Muslim. Selama Anda percaya Tuhan dan percaya Muhammad itu utusan-Nya, Anda masih Muslim.”
“Benarkah?” Kini giliran aku yang terperanjat seperti dia tadi, meski bentuk emosinya berbeda. Aku melihat titik terang! “Meski dia… misalnya telah membunuh ratusan orang?” lanjutku.
“Meski dosanya memenuhi langit, Sir.”
“Jangan panggil aku Sir!”
“Maaf, Sir. Sudah kebiasaan. Saya baru keluar penjara. Well, saya menjadi Muslim di penjara, Sir. Jadi saya tahu soal dosa.”
“Oh.”

Dari remark singkatku itu kamu bisa menduga kalau aku seketika merasa aprehensif, bukan? Terus terang, banyak yang aku ingin tanyakan tentang islam, tapi tololnya perasaan aprehensif itu malah mendorongku bertanya hal yang tidak berguna sama sekali.
“Kau pernah membunuh?” tanyaku.
Dia mengangguk. “Ya, Sir. Saya pernah membunuh.”
“Terus bagaimana kamu bisa menjadi Muslim?” 
“Teman satu sel, Sir. Dia perlihatkan Al Quran, dan menunjukkan dosa yang lebih buruk dari membunuh.”
“Menyekutukan Tuhan, maksudmu?”
“Well, itu bukan yang dia tunjukkan, Sir, tapi adultery (zina).”
“Benarkah?” aku terperanjat. Ada sesuatu dalam dadaku yang seketika ingin menolak perkataannya itu.
“Di surat Al Israa, kalau tidak salah, Sir. Sequence di Quran, Allah menempatkan  zina sebelum membunuh, dan bahasa yang digunakan untuk membunuh, ‘Jangan membunuh,’ sementara untuk zina, ‘Jangan DEKATI zina.’—Maaf, Sir, jika saya menyinggung perasaan Anda.”
“Tidak, tidak,” sanggahku, “Terlihat jelas, ya, kalau aku suka berzina?”
“Tidak, Sir, bukan maksud saya menghakimi, tapi,” pandangannya kembali beralih ke jendela dan tampak menerawang, “kita semua punya masa lalu masing-masing, hanya saja, kita hidup di tengah struktur masyarakat yang… yang… sakit. Hal semacam zina cenderung lebih mudah terjadi.” 
Aku mendesah, “Yeah, kamu benar. It’s unescapeable.”
“Tidak juga,” sanggah Ben, tersenyum dan menatapku. “Bisa dihindari, tapi sulit. Sangat sulit! Apalagi kalau sudah menjadi kebiasaan.”
“Old habit die hard, right?” timpalku.
“Just as old past won’t let you go away (Sebagaimana masa lalu yang tidak sudi meninggalkanmu),” tambah Ben seraya mengalihkan pandanganya, kembali ke jendela dan kembali menerawang.
Keningku mengerenyit dan menatapnya heran.
Tiba-tiba dia berkata, “Anda tahu, Sir? Ada pepatah, ‘Menabur Kebiasaan, maka akan menuai Karakter’. Dan… di Quran, Allah menggambarkan zina sebagai ‘jalan’ (path) yang buruk. Yang menarik, Sir, di otak kita ada bagian bernama Basal Ganglia, yang ketika impuls dilepas akibat tindakan kita yang berulang, impuls itu membentuk ‘jalur’ (path), dan jalur itu menjadi—”
“Habit (kebiasaan),” potong aku.
“Yes, that’s right, Sir. Kebiasaan menentukan siapa kita! Dan korelasinya dengan membunuh, zina adalah pembunuhan karakter kita, Sir. Well, saya mengalaminya secara langsung; untuk bisa membunuh, karakter kita harus mati terlebih dahulu. Mungkin itu alasan Allah menempatkan zina lebih buruk dari membunuh. Zina bisa membunuh karakter kita dengan cepat. Setelah karakter kita mati, kita bisa menjadi orang terbejat yang bisa kita bayangkan, bahkan lebih!”
Aku tercenung. Dan mengingat kejadian tadi di luar pub, bisa jadi aku akan membunuh! Well, jika aku tidak terbunuh duluan!
“Wow, that’s deep,” ucapku seraya menghisap rokokku dan menghembuskannya kuat-kuat seraya menengadahkan kepalaku. Terasa bola mataku bergerak cepat, meredam keterpekuranku. Dan mantan napi ini menyelamatkan aku…
“Maaf, Sir, sebenarnya saya tidak bisa berlama-lama,” ucap Ben tiba-tiba, membuatku segera menatapnya. “Saya sedang dalam perjalanan menuju Mesjid. Saya mohon diri dulu.”
“Bo—boleh aku ikut?” responku cepat-cepat. Terus terang aku tidak tahu kenapa aku mesti merespon seperti itu; mungkin aku melihat sebuah kesempatan, atau hanya ingin mengenal lebih jauh lagi sosok Ben ini. 
Ben tersenyum. “Tentu. Ayo.” Dia beranjak, membayar kopi kami dan keluar kedai.
Aku matikan rokokku di asbak sebelum bisa mengikuti langkahnya. Di luar, aku mengambil sebatang lagi. Sambil menyalakannya, aku berkata, “Bagaimana kau bisa berhenti merokok, Ben? Aku sendiri sulit sekali.”
Ben terdiam sejenak. “Ada sebuah lelucon,” katanya, “Well, lebih tepatnya sebuah cerita, Sir. Ada seorang perokok berat, dia punya teman seorang Imam, Sheik, atau apalah. Dan, temannya ini bertanya, ‘Kapan kamu mau berhenti merokok?’ Dia menjawab dengan mulut masih mengepul, ‘Berdoalah untuk saya, Sir.’ Si Imam itu langsung mengambil posisi berdoa dan berkata, ‘Baiklah, mari kita berdoa. Oh, Allah, Penguasa langit dan bumi, limpahkan kepada teman hamba ini, rahmat dan berkahMu. Karuniakan kepadanya istri dan keturunan yang sholeh, yang membahagiakannya. Ya, Allah, karuniakan kepada teman hamba ini kesehatan yang membawa berkah, yang membawanya kepada RidhoMu, ya Allah.’ Pada titik ini si Imam menangis, dan si perokok itu ikut menangis sambil mengamini doanya. Lalu, si Imam melanjutkan, ‘Oh, Allah, dan jangan berikan semua itu sampai teman hamba ini berhenti merokok!’”
Aku mendengus dan sempat hendak tertawa, tapi juga sekaligus aku merasakan sindiran yang cukup tajam. “You got me there,” ucapku malu seraya menahan tawa.
“Well, saya tidak berniat menyinggung perasaan Anda, Sir, dan itu juga bukan kisah saya. Tapi kisah itu cukup ‘mengguncang’ saya. Bagi saya, kisah itu hanya cara lain untuk mengatakan sebuah pertanyaan, ‘Kamu SUNGGUH ingin berubah atau tidak?’”
Aku terpekur. Dan tanpa sepenuhnya aku sadari, aku menjatuhkan rokokku.
“Anyway, Sir, bagaimana Anda bisa menjadi Muslim?” tanya Ben tiba-tiba.
Aku tatap Ben sejenak sebelum berpaling dan menjawab, “Tanpa sengaja aku hadiri sebuah konfrensi Islam di Chicago sebulan yang lalu. Aku bersyahadat di sana, mendapat beberapa buku, DVD dan Al Quran, lalu balik lagi ke sini.”
“Anda tidak—” Ben tidak melanjutkan kalimatnya karena mendadak seseorang memanggil. 
“Benjamin Walken!”
Kami berpaling dan melihat empat orang pemuda. Keempatnya mengenakan sweater berwarna sama, dan kerudung sweaternya menutupi sebagian wajah mereka. 
Lalu kulihat mereka membuka kerudung sweater mereka bersamaan. Kulihat remaja laki-laki belasan tahun berkepala plontos. 
“Master Lambert menyampaikan salam,” kata salah seorang yang badannya lebih besar. Lalu kulihat dia mengeluarkan sebilah belati. Yang lainnya pun mengeluarkan senjata mereka.
Melihat itu nafasku serasa tersekat. Rasa takut mencengkramku dengan cepat! Tapi sepertinya berbeda dengan Ben.
“Step a side, Sir,” kata Ben datar, lalu dia menghampiri mereka.
Mereka langsung menyerang Ben! Sempat aku perhatikan di tengkuk empat remaja itu terdapat tato pentagram seperti yang terdapat di tengkuk Ben. Akupun teringat perkataan Ben, “Just as old past won’t let you go away….” Mereka adalah hantu-hantu masa lalu Ben.
Ben mungkin hanya sendiri, sementara lawannya berempat dan bersenjata, tapi mereka hanyalah anak-anak. Ben jelas sudah banyak pengalaman dalam menghadapi agresi seperti ini. Dengan cepat dia melumpuhkan empat remaja itu. Keempatnya tersungkur di trotoar sambil meringis. Kemudian kulihat Ben merogoh saku belakang celana keempat remaja itu. Dia ambil dompet mereka dan kulihat dia mengambil semacam kartu dari dompet mereka.
“Si Lambert itu pecundang!” seru Ben kemudian. “Dia tahu bakal kalah dariku dan dia hanya bisa menyuruh kalian! Dan kalian menyembahnya? Dengar! Aku dapatkan kartu pelajar kalian! Jika aku tahu kalian bolos atau bahkan tidak mendapat nilai A di setiap mata pelajaran kalian, percayalah, aku akan memburu kalian! Sekarang kalian tahu kapabilitasku! Now, Scram!”
Tertatih-tatih, keempat remaja itu menyingkir.
“Siapa Lambert ini?” tanyaku saat Ben menghampiri.
“Hanya kenalan lama,” jawab Ben.
“Pemimpin semacam gank?”
“Ya, semacam itu.” 
“Old past never let you go, huh?” ucapku saat kami kembali melanjutkan perjalanan.
Ben tersenyum. “Yeah, just like old habit.”
Aku ikut tersenyum. “Kamu tahu? Kalau aku tidak salah, di Islam ada konsep Hijrah, right? Kenapa tidak pindah saja ke kota lain? Lepas dari jangkauan mereka.”
Ben mendengus. “Tidak punya uang, Sir.” 
Aku termenung sejenak. “Mungkin aku bisa membantu soal itu. Aku juga sepertinya mesti pindah dari kota ini. Memulai hidup baru untuk menghilangkan kebiasan-kebiasaan burukku.”
Kulihat Ben terpekur dan berhenti berjalan. Dia menatapku. “Sa—saya tidak tahu, Sir. Sepertinya saya tidak bisa menerima kebaikan seperti itu, Sir.” 
“Ah, itu kita bahas lain kali!” sergahku, “Sekarang ini aku butuh bantuan yang lebih urgent.”
“Apa itu, Sir?”
“Mungkin kamu bisa menemaniku setiap pulang kerja. Menjaga langkahku supaya tidak masuk pub atau semacamnya. Dan mungkin mengajakku ke mesjid. Kau bisa?”
Ben tersenyum. “It’ll be my privilege, Sir.”  
“Good! It’s a deal!” Aku ulurkan tanganku dan dia menjabatnya.
Aku tarik nafas panjang dan kamipun kembali berjalan. Entah kenapa aku merasakan perasaan lega yang aneh.
Untuk beberapa saat kami terdiam. Di saat terdiam itu, aku rasakan aliran-aliran impuls di benakku yang mungkin bisa dikatakan melamun, tapi tiba-tiba lamunan itu membuatku menyadari sesuatu.
“Kau tahu, Ben? Di Al Fatihah, kita meminta ditunjukkan ke pada jalan yang lurus, right?” kataku.
“Ya, Sir.”
“Kau tahu jalan dibangun dari apa? Bukan beton. Bukan Aspal. Tapi langkah-langkah!”
Ben tersenyum. “Benar, Sir. Sebagaimana langkah membangun jalan, kebiasaan membangun karakter kita, Sir. Mungkin itulah alasan kenapa kita mesti sholat lima kali sehari, Sir.”
“Ya, aku setuju. Anyway, aku berharap langkah-langkah kita selanjutnya benar-benar langkah yang benar.”
“Dan berada dalam petunjuk Allah, Sir.”
“Amin.”
Amin….

Donny Muhammad Ramdhan
laanjut »»